Sunday, October 24, 2010

Hari Ultahku adalah Harimu, Ibu

Sudah tiga puluh lima tahun berlalu
peristiwa itu
mungkin hanya engkau yang masih mengingatnya
kala berjibaku dengan peluh dan rasa sakit
darah yang bersimbah
terima kasih telah menyambutku dengan senyum

hari ini,
usiaku 35 tahun
kasihmu tak pernah berhenti
sayangmu selalu mengiringi
do’amu selalu menyertai

ibu…,
hari ini adalah hari yang spesial
tapi bukan untukku
melainkan untukmu

ibu…,
semoga engkau panjang umur
dan berkah
semoga Allah mengasihimu
sebagaimana engkau telah mengasihiku
sejak dalam kandunganmu
semoga Allah menyayangimu
sebagaimana sayangmu padaku
sepanjang kebersamaan kita
semoga Allah memberi jannatul firdaus
sebagai balasan bagimu
atas perjuanganmu
35 tahun yang lalu
amin..amin..ya rabbal ‘aalamin…

Depok, 24 Oktober 2010

[+/-] Selengkapnya...

Saturday, October 23, 2010

Hidupkan Desa, Kurangi Urbanisasi

Salah satu pemicu masalah di perkotaan adalah adanya arus urbanisasi, yaitu migrasi penduduk dari desa ke kota. Kota menjadi semakin padat. Jumlah kendaraan meningkat. Macet terjadi dimana-mana. Polusi udara meningkat sampai pada tingkat yang membahayakan kesehatan. Muncul gubuk-gubuk liar hingga ke tempat-tempat yang tidak semestinya, seperti di tepi jalur KRL (kereta listrik), kolong jembatan, dan daerah-daerah bantaran sungai.

Para pelaku urbanisasi yang bernasib buruk akhirnya memunculkan masalah lain. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi tunawisma dan tunakarya yang memancing terjadinya berbagai tindak kejahatan di kota. Sebagian lagi terpaksa mengorbankan kehormatannya dengan menjadi tunasusila.

Keinginan orang-orang desa bermigrasi ke kota dipicu oleh berkurangnya daya tarik desa dibandingkan dengan daya tarik perkotaan. Dalam pandangan mereka, kota lebih menjanjikan, terutama sebagai sumber mata pencaharian dibandingkan dengan desa. Meskipun harus dimulai dengan bersusah-payah, mereka tidak segan-segan mengadu nasib di kota karena desa tempat mereka bermukim tidak memberi harapan yang besar. Toh, bagi mereka banyak cerita sukses orang-orang yang awalnya terlunta-lunta kemudian dapat berubah nasibnya setelah sekian lama ‘bersabar’ mengadu nasib di kota. Cerita-cerita memilukan dari orang-orang yang kurang beruntung tidak lagi mereka hiraukan.

Sangat sulit bagi pemerintah kota untuk mencegah arus urbanisasi hanya dengan himbauan dan program penertiban semata. Selama daya tarik kota tetap lebih besar daripada desa, arus urbanisasi akan tetap terjadi. Perlu adanya sinergi antara pemerintah kota dan desa untuk mencegah arus urbanisasi melalui pemberdayaan masyarakat pedesaan. Sinergi itu harus dipadu dengan upaya pemerintah pusat untuk memperbesar alokasi pembangunan ke daerah-daerah pedesaan. Jika program-program pemberdayaan masyarakat pedesaan sukses, maka akan meningkatkan taraf hidup masyarakat tersebut, sekaligus akan membuat betah mereka untuk terus menetap di pedesaan.

Banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat pedesaan. Program utama yang mesti dicanangkan adalah mendirikan sekolah-sekolah unggulan di daerah-daerah pedesaan, terutama sekolah kejuruan. Dengan mencanangkan program 1 SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) untuk 1 kecamatan, tiap desa punya sarana untuk mencetak sumber daya manusia yang siap pakai. SMK yang dibentuk di tiap kecamatan tentunya disesuaikan dengan potensi kecamatan tersebut. Di daerah yang besar potensi pertanian dan perkebunannya dapat dibangun SMK Pertanian/Perkebunan. Di daerah kecamatan yang memiliki potensi kekayaan laut dapat didirikan SMK Kelautan/Perikanan. Demikian pula untuk daerah yang punya cukup potensi untuk pengembangan sumber-sumber tenaga listrik terbarukan dapat dibangun SMK Teknologi. Untuk mendukung program ini, tentu diperlukan kajian mendalam tentang bisa/tidaknya didirikan SMK yang sederajat SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Artinya, lulusan SD (Sekolah Dasar) sudah dapat diarahkan untuk masuk ke jenjang SMK-SMK tersebut agar nantinya dapat menjadi tenaga-tenaga siap pakai untuk desanya masing-masing. Selain itu, pemerintah dapat mengalokasikan dana beasiswa pendidikan untuk lulusan SMA yang punya potensi untuk menjadi guru atau tenaga medis dan bersedia mengabdi di daerah-daerah kecamatan yang memiliki daerah terpencil yang sulit dijangkau (misalnya, berupa pulau kecil).

Faktor pendukung utama dari program percepatan pembangunan di pedesaan adalah tersedianya aliran listrik dan saluran telekomunikasi di desa-desa. Kita patut mengacungkan jempol bagi CEO PLN yang baru (Dahlan Iskan) beserta jajarannya yang sangat gencar mengupayakan ketersedaiaan listrik hingga ke desa-desa. Pun kita tentu sangat memuji program kementerian komunikasi dan informasi yang telah mengembangkan program Palapa Ring untuk 25.000 desa berdering dan 100 desa internet seluruh Indonesia.

[+/-] Selengkapnya...

Tuesday, September 21, 2010

Mudik Lebaran dan Mudik 'Idul Fitri

Alangkah gembiranya orang-orang yang merayakan kemenangannya pada hari raya ‘Idul Fitri. Kegembiraan yang tercipta manakala mereka berhasil menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan dengan mengoptimalkan berbagai bentuk ibadah lain yang menyertainya, seperti tilawah Al-qur’an, dzikrullah, sholat tarawih, sholat tahajjud, membayar zakat, berinfaq, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya.

Kegembiraan mereka menjadi lengkap dengan berkumpulnya mereka bersama keluarga saat merayakan hari kemenangan, hari yang fitri. Bagi mereka yang tinggal jauh dari keluarganya akan mengupayakan agar bisa kembali/mudik untuk mempererat tali silaturrahim dengan keluarganya. Maka, perjalanan mudik yang sarat dengan keletihan dan kadangkala dibumbui dengan penderitaan menjadi hilang ketika tiba waktunya berkumpul bersama keluarga dalam suasana lebaran. Betapa senangnya orang-orang yang jauh dari keluarganya, kemudian memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mudik menjumpai keluarga mereka.

Istilah ‘mudik’ juga berarti pulang atau kembali. Contohnya, kembali ke tempat asal setelah bepergian ke tempat lain dalam jangka waktu tertentu. Ada dua jenis ‘mudik’ yang dilakukan orang setelah berlalunya bulan Ramadhan, yaitu mudiknya orang-orang yang berlebaran dan mudiknya orang-orang yang ber’Idul Fitri.

Kebanyakan orang betul-betul senang dengan berlalunya bulan suci Ramadhan. Bagi mereka, datangnya hari raya ‘Idul Fitri menandakan berakhirnya puasa mereka, ibadah yang mereka anggap sebagai beban dan penghalang aktivitas mereka. Berakhirnya puasa Ramadhan sekaligus berakhirnya ibadah-ibadah lain yang biasanya dilakukan pada bulan Ramadhan.

Banyak orang yang bersemangat membaca Al-qur’an pada bulan Ramadhan padahal mereka jarang menyentuh Al-qur’an sebelum Ramadhan. Banyak orang bersemangat ke masjid pada bulan Ramadhan untuk menunaikan sholat tarawih, bahkan lebih sering sholat wajib di masjid dibandingkan dengan sholat wajib yang ditunaikannya sebelum Ramadhan datang.

Sayangnya, semangat mereka itu tidak terpelihara. Setelah Ramadhan pergi, mereka pun kembali pada kebiasaan lama. Mereka ‘mudik’ dari rajin membaca Al-qur’an menjadi jarang (lagi) menyentuh Al-qur’an. Mereka ‘mudik’ dari pribadi yang rajin sholat berjama’ah di masjid menjadi orang yang cukup ‘puas’ dengan sholat di rumah. Memang mereka turut merayakan hari raya ‘Idul Fitri dan memperbanyak silaturrahim dengan keluarga, kerabat, dan tetangga. Bahkan mereka mengunjungi keluarga yang harus ditempuh dengan perjalanan berjam-jam lamanya. Mudik yang mereka lakukan bisa kita sebut sebagai mudiknya orang-orang yang berlebaran.

Ada pula orang yang melakukan perjalanan mudik/kembali ke kampung halamannya untuk mempererat tali silaturrahim, namun ibadah yang dilakukannya pada bulan Ramadhan mampu mereka pelihara setelah Ramadhan berlalu. Mereka adalah orang-orang yang kembali menjadi suci/fitrah sebagaimana bayi yang baru lahir. Jika pada bulan Ramadhan mereka mampu menamatkan membaca Al-qur’an, maka setelah Ramadhan mereka masih bisa melakukannya. Jika pada bulan Ramadhan mereka rajin sholat tarawih, maka ketika Ramadhan berlalu mereka tetap terjaga untuk sholat tahajjud atau sholat lail. Ramadhan bagi orang-orang seperti itu adalah momen untuk mengangkat derajat mereka di sisi Allah lebih tinggi dari sebelumnya. Mudik mereka kita sebut sebagai mudiknya orang-orang yang ber’Idul Fitri.

Ramadhan telah meninggalkan kita lebih dari sepuluh hari. Kalau selama sepuluh hari lebih itu kita terlanjur terlena dengan ‘kegembiraan’ yang kebablasan dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan baik kita saat bersama Ramadhan yang lalu, maka kita masih punya kesempatan untuk mudik/kembali pada kondisi kita saat bersama bulan Ramadhan sebelum jatuh lebih dalam pada jerat kebiasaan sebelum Ramadhan tiba. Semoga kita tergolong orang-orang yang ber’Idul Fitri dan bukan sekedar berlebaran. Semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh predikat taqwa, amin.

[+/-] Selengkapnya...

Saturday, September 11, 2010

Keberadaan PRT di Rumah Kita, Sebuah Dilema

Bagi banyak orang, kebutuhan akan hadirnya PRT (pembantu rumah tangga) tidak dapat ditawar-tawar lagi. Harus ada. Ini terutama dirasakan oleh keluarga yang punya aktivitas sangat padat, sehingga urusan pekerjaan rumah tangga harus diserahkan kepada orang lain yang mengkhususkan waktunya untuk itu. Atau mungkin dirasakan oleh keluarga yang memiliki kedudukan khusus di dalam masyarakat, seperti pejabat atau pengusaha, sehingga kehadiran PRT dalam keluarganya dianggap sebagai bagian dari life-style.

Sayangnya, keberadaan PRT kini banyak mendapat sorotan publik. Tidak sedikit pejabat publik yang terjerat skandal seks karena hubungan backstreet dengan PRT di rumahnya. Kasus teranyar menimpa seorang anggota legislatif Jombang yang digugat cerai istrinya karena ketahuan selingkuh dengan PRTnya.

Keberadaan PRT sering menjadi masalah yang dilematis bagi pihak perempuan (baca: istri). Tidak punya PRT, repot. Semua pekerjaan rumah harus dikerjakan sendiri. Syukur-syukur kalau suami dan anak-anak mau bantu. Punya PRT, malah bisa jadi bencana bagi keharmonisan rumah tangganya. Maka, keberadaan PRT dalam sebuah rumah tangga harus terus dicarikan solusinya.

Seorang kawan di Makassar kelihatan cukup repot dengan urusan PRT di rumahnya. Apalagi istrinya juga sering keluar rumah. Kalau mau pulang ke rumah, ia mengecek dulu, istrinya ada atau tidak di rumah. Kalau tidak ada, maka ia segera menjemput istrinya dan membawanya pulang, sesibuk apapun istrinya saat itu. Bukan apa-apa. PRT di rumahnya adalah seorang janda muda yang berparas cantik.

Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah keberadaan PRT di rumah kita. Salah satu diantaranya seperti yang dilakukan oleh Bu Nia, teman istri saya di Depok. Mulanya, ia hanya punya seorang PRT, tapi karena suaminya sering berada di rumah, ia jadi was-was juga. Maka ia mencari seorang PRT lagi, sehingga genap menjadi dua orang dengan tugas yang berbeda. Biayanya jadi lebih besar memang, tapi rasa was-wasnya hilang meskipun di rumahnya ada 2 orang PRT yang cantik dan masih gadis.

Bunda Alea, teman istri saya yang lain punya solusi yang lain lagi. Agar tidak mengundang kekhawatiran, ia memilih seorang PRT yang sudah agak lanjut usia. “Kadang-kadang saya berfikir, yang jadi pembantu dia atau saya?”, ujarnya ketika menceritakan perihal PRT di rumahnya. “Soalnya saya sering membantu pekerjaannya agar bisa selesai. Dia sudah tua. Jadi gampang capek. Tapi, saya lebih enjoy dengan kondisi seperti itu daripada punya pembantu gadis muda”, katanya lagi.

Depok, 11 Sept 2010

[+/-] Selengkapnya...

Do'a dulu, baru Ikhtiar

Aku kaget bukan main. Ketika saku celana kuperiksa, ternyata HPku sudah tidak ada. Aku panik, bingung harus berbuat apa. Rasanya ingin segera mencari HP itu, tapi aku belum sholat Ashar dan jadual kuliahku sudah lewat 15 menit. Sambil memikirkan kemungkinan lokasi HP itu hilang, aku melangkah menuju musholla Fakultas Teknik untuk sholat Ashar. Sambil berjalan aku berdo’a agar diberi kemudahan oleh Allah untuk mendapatkan kembali HP itu. Selesai sholat, do’a itu kupanjatkan sekali lagi.

Setelah berdo’a, pikiranku mulai tenang. Aku melangkah menuju ruang kuliah K-204. Saat tiba di kelas, P’Halim, dosen yang mengajar sore kemarin sedang menyampaikan materi kuliahnya. Nampaknya, kuliah belum berlangsung lama. Baru slide ke-3. Kucoba untuk menenangkan diri dan berusaha memperhatikan penjelasan dari beliau.

Sulit rasanya untuk bisa mengikuti kuliah sore itu dengan baik. Pikiranku belum bisa lepas dari HP itu. Kucoba meminta bantuan seorang teman untuk menelpon nomor kontak HP yang hilang itu. Sayangnya, ponsel teman tersebut sedang lowbat. Akhirnya, kucoba bersabar menunggu hingga perkuliahan selesai. Saat P’Halim mengakhiri kuliah sore itu, kucoba lagi minta bantuan teman yang lain. Alhamdulillah, bisa. Saat kutelpon, HP itu aktif dan ada yang menjawabnya. Suara seorang wanita.

Selama ini, saya percaya anggapan banyak orang bahwa di zaman ini sudah sangat sulit menemukan orang yang baik. Sebaliknya, begitu mudah mendapatkan orang yang jahat. Halaman koran tidak pernah sepi dari berita kriminal. Rupa-rupa bentuk tindakan kriminal dan modus operandinya. Demikian pula tayangan di tv. Jangankan untuk mengembalikan barang yang ditemukan, barang yang ada di tangan orang pun seringkali dicopet, dirampas, atau dirampok. Tapi sejak kejadian yang dialami istriku bulan lalu, aku mulai ragu dengan anggapan itu. Saat itu, HP istriku terjatuh di dalam KRL jurusan Jakarta-Bogor yang ia tumpangi. Ia baru sadar kalau HPnya hilang saat turun dari KRL itu. Tak disangka, HP itu ditemukan oleh seseorang yang mau mengembalikannya tanpa meminta imbalan apapun.

Sore kemarin, aku mengalami peristiwa serupa. Wanita yang menemukan HPku itupun juga adalah orang yang baik. Dia segera memberitahu alamatnya ketika kunyatakan keinginanku untuk segera mengambil HP itu. Setelah buka puasa di masjid kampus UI dan menjemput anak-istriku di sana, kami pun segera menuju rumah yang dimaksud. Jl.Margonda No.23 antara Restoran Sederhana dan Martabak Kubang, demikian alamat yang tertera pada sms wanita itu di ponsel temanku. Saat tiba di depan rumah itu, ternyata wanita itu sudah menunggu dengan seorang temannya. Tanpa banyak tanya, ia langsung menyodorkan HP itu padaku dan memberitahukan tempat HP itu ia temukan, di depan fakultas Hukum UI. Sepertinya HP itu terjatuh dari saku celanaku saat berlari mengejar bikun (bis kuning UI) yang baru saja berhenti di halte depan fakultas Hukum.

Seperti bapak yang menemukan dan kemudian mengembalikan HP istriku bulan lalu, wanita yang menemukan HP itu pun tidak meminta imbalan apapun. Malah ia menolak ketika kusodorkan kantong plastik berisi sekaleng biskuit dan sebotol minuman sebagai tanda terima kasih. Ketika istriku menanyakan namanya, ia memperkenalkan dirinya. Namanya Tika, seorang mahasiswi S2 UI jurusan Psikologi. Semoga Allah memberi pahala yang besar atas kebaikan hatinya.

Terlepas dari kebaikan hati kedua orang yang kuceritakan di atas, ada satu pelajaran berharga yang kami dapatkan. Saat kejadian yang kami alami masing-masing, saya dan istri mendahulukan do’a sebelum ikhtiar. Sebelum mencoba mengecek keberadaan HP itu, saya memohon pada Allah agar diberi kemudahan mendapatkan kembali HP itu. Do’a tersebut kupanjatkan setidaknya dua kali. Hal yang sama dilakukan istriku ketika HPnya terjatuh di kereta. Sebelum mengecek keberadaan HPnya, ia memohon pada Allah semoga HP itu ditemukan oleh orang yang baik hati.

Inilah hikmah besar yang kami peroleh di samping rasa syukur karena masih ditakdirkan memiliki HP itu kembali. Mendahulukan do’a daripada ikhtiar adalah salah satu prinsip dalam aqidah Islam. Sebesar apapun ikhtiar yang kita lakukan tidaklah akan berhasil jika Allah tidak menghendaki itu terjadi. Maka, tidaklah pantas seseorang terlalu PeDe dengan ikhtiarnya, sehingga ia baru memanjatkan do’a ketika semua upaya telah ia lakukan dan belum ada hasilnya. Yang seharusnya kita lakukan adalah memohon pada Allah lebih dulu, kemudian ber-ikhtiar, dan diakhiri dengan tawakkal pada-Nya. Wallaahu a’lam.

Depok, 7 Sept 2010

[+/-] Selengkapnya...

Saturday, August 21, 2010

Keputusan Dilematis

Keputusan itu akhirnya kuambil juga. Yah, program DDIP yang kuikuti sehubungan dengan studi S2 yang sedang kujalani akhirnya kupatahkan di tengah jalan. Setelah kursus dan tes level A2 bahasa Perancis rampung, kursus level B1 tidak kulanjutkan lagi. Itu adalah bagian dari keputusanku untuk menyelesaikan studi S2 di UI hingga selesai dan tidak melanjutkannya di Perancis sebagaimana rencana semula.

Lega dan plong rasanya. Hari-hari berikutnya kujalani dengan lebih fokus pada perkuliahan di UI. Waktu terasa makin longgar untuk mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dan memperdalam materi kuliah. Sesekali kucari tahu informasi tentang kursus yang masih diikuti oleh teman-teman yang masih konsisten di jalur DDIP.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Semester kedua berhasil kulewati dengan baik. IPK-ku bergeser sedikit ke atas. Ini berarti paling tidak dua semester lagi akan kujalani kemudian pulang ke kampung halaman. Program DDIP juga semakin mendekati proses akhir untuk menentukan siapa saja yang berhak melanjutkan studi tahun keduanya di Perancis.
Informasi yang kuperoleh menyebutkan bahwa semua mahasiswa yang masih meneruskan kursusnya pada level B1 dan B2 akan diberangkatkan ke Perancis, termasuk orang-orang yang kuanggap kurang meyakinkan perkembangan bahasa Perancisnya dan orang-orang yang selama ini tidak terlalu serius belajar bahasa Perancis.

Entah kenapa, berita tentang persiapan keberangkatan teman-teman yang akan ke Perancis kembali mengganggu pikiranku. Kurasakan diriku berada di antara 2 kesedihan. Kesedihan karena harus meninggalkan keluarga sekiranya harus lanjut di Perancis dan kesedihan karena menyia-nyiakan kesempatan belajar di Eropa, yang diinginkan banyak orang. Kesedihan yang pertama itulah yang melandasi keputusanku dahulu untuk menghentikan program DDIP di tengah jalan. Kini, ketika mereka sudah bersiap-siap ke Perancis, kesedihan kedua menghantuiku. Hari demi hari kulewati dengan rasa menyesal, menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan.

Di tengah kesedihan yang tidak kuperlihatkan pada keluargaku, kuingat do’a yang pernah kupanjatkan pada-Nya. Kesadaran akan takdir Allah, itulah yang mengangkatku agar tidak tenggelam di lumpur kesedihan dan kubang penyesalan. Allah-lah yang menghendaki ini semua terjadi. Apa yang Dia takdirkan untuk seorang hamba, maka pasti Dia akan memudahkan jalan itu bagi hamba-Nya. Begitu pula sebaliknya.

Ya, Allah…
kepadaMu kupanjatkan do’a ini
kelanjutan do’aku yang dahulu

Ya, Allah…
Rob yang Maha Mengetahui,
Engkau lebih tahu
jalan yang terbaik bagi hamba-hambaMu
Jika ini memang jalanku yang terbaik
maka lapangkanlah hatiku untuk menerimanya, ya Rahman…
berkahilah perjalananku di atas jalan itu

Ya, Allah…
Rob yang Maha Perkasa
Namun jika keputusan yang hamba ambil dahulu
adalah bagian dari kelemahan hamba
karena ketidakmampuan hamba meniti jalan perjuangan
karena cerminan lemahnya mental hamba
maka, hamba memohon padaMu ya Rahim…
tutupilah kelemahan hamba dengan setetes kekuatanMu, Ya Allah…
kuatkanlah mental hamba, Ya Rahman…
dan berilah ganti yang lebih baik bagi hamba
atas kehilangan kesempatan itu

Artikel Terkait...

[+/-] Selengkapnya...

Thursday, August 5, 2010

Alhamdulillah, Masih Ada

Istriku pulang dengan wajah muram. Raut mukanya sama sekali tidak menampakkan keceriaan. Dia masuk ke kamar kost dengan langkah gontai. Setelah meletakkan barang belanjaan yang baru saja dibelinya di Tanah Abang, perlahan dia duduk tepat di hadapanku. Sesaat kemudian, dia menjatuhkan kepalanya di bahuku. Sambil terisak, dia berujar lirih: "Afwan, Bi. Saya baru saja kena musibah. HP ku hilang di atas kereta".

Istriku baru saja pulang dari Tanah Abang. Dia naik KRL jurusan Bogor dan turun di Stasiun UI. "Kemungkinan HP itu dicopet atau terjatuh dari sakuku. Seharusnya memang kumasukkan dalam tas. Karena ada sms kuterima, HP itu kukeluarkan lagi. Kemudian kusimpan di sakuku", cerita istriku panjang lebar. "Mudah-mudahan HP itu tidak dicopet. Mudah-mudahan terjatuh dan ditemukan oleh orang yang baik",harapnya.

Melalui HPku, dia mencoba menelepon HPnya. Ternyata aktif. Tapi tidak diangkat, tidak dijawab. Dia tidak putus asa. Dia mengirim sms ke nomor HPnya. "Aslkm. Siapapun yang menemukn hp ini, sy mohon u bisa menghubungi no ini (085299490044), sy berterima kasih sekali atas kebaikannya u mngembalikn hp tsb, krn sy sgt membutuhknnya", begitu bunyi smsnya.

Sekitar 30 menit kemudian, sebuah sms masuk ke nomorku,"Hp anda sy temukan di kaki sy di KA brusan sy turun". Sms yang dikirim melalui nomor HPnya yang hilang itu langsung disambut istriku dengan menelepon kembali nomor itu. Kali ini, telepon itu dijawab. Dia kemudian berbincang serius dengan pemegang HP itu. Setelah menelepon, istriku menjelaskan bahwa orang itu bermaksud mengembalikan HP itu, tapi dia menawarkan besok pagi saja, karena dia masih capek. Istriku mengiyakan.

Keesokan harinya, istriku bergegas menuju Stasiun Bojong Gede, ke tempat orang yang menemukan HPnya yang hilang itu. Saya ingin menemaninya, tapi ditolaknya karena anak-anak kami harus ke sekolah.

Singkat cerita, istriku mendapatkan kembali HPnya itu. "Bapak itu orang baik. Bahkan dia sempat menolak waktu saya sodorkan sekotak kurma dan sebotol minuman sebagai rasa terima kasih. Dia bilang hanya mau membantu saja, tapi saya desak. Akhirnya, dia pun mau menerimanya", tutur istriku sesampainya kembali di kamar kost kami. Alhamdulillah, HP itu ditemukan oleh orang baik. "Ternyata masih ada juga orang sebaik itu ya...", ujar istriku yang masih belum yakin kalau HPnya masih bisa kembali.

Dalam do'aku selepas maghrib, saya memohon kepada Allah agar memberkahi kehidupan orang itu dan keluarganya, serta diberi keluasan rezeki. Semoga Allah mengabulkannya, amin...

Depok, 4 Agt 2010

[+/-] Selengkapnya...

Wednesday, August 4, 2010

Idealisme Seorang Guru

Setelah saya edit, daftar nilai anak-anak itu saya print ulang. Anehnya, yang tercetak sama dengan nilai sebelum di-edit. Saya coba edit lagi, kemudian saya print lagi. Eh, yang ter-print nilai yang itu lagi. Saya coba hingga tiga kali dan mendapatkan hal yang sama. Saya sadar dan segera beristighfar kepada Allah. “Astaghfirullah, jangan-jangan, ini teguran dari Allah”,batinku. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan niat buruk itu.

Saya melamar untuk menjadi guru di sekolah itu karena mengharapkan lingkungan kerja yang baik. Sebuah SMP swasta di kota Depok yang dinaungi oleh sebuah yayasan islami. Beberapa tahun bekerja sebagai guru, saya diberi amanah untuk menjadi wali kelas, kelas IX (kelas 3 SMP).

Saat saya diamanahi sebagai wali kelas IX, beberapa diantara siswa saya adalah anak-anak dari pengurus yayasan yang menaungi sekolah tersebut. Alhamdulillah, saat hasil UAN (Ujian Akhir Nasional) diumumkan, mereka termasuk yang lulus.

Entah karena kemauan sendiri atau karena keinginan orangtua mereka, untuk melanjutkan sekolah, mereka mendaftar di SBI (Sekolah Berbasis Internasional) di Depok. Di SBI dipersyaratkan nilai-nilai mata pelajaran yang tergolong “kategori moral” dengan standard tertentu. Rupanya, nilai anak-anak pengurus yayasan di sekolah tempat saya mengabdi tidak memenuhi syarat. Maka para pengurus yayasan memerintahkan pada kepala sekolah untuk mengubah nilai anak-anak mereka. Saat diberitahu, saya sangat kaget. Saya tidak menyangka pengurus yayasan berpikir selicik itu dan tidak lagi menganggap perbuatan itu sebagai dosa.

Saya tidak dapat berbuat apa-apa. Saya dipaksa. Akhirnya, saya bersedia untuk mengubah nilai-nilai mereka. Bukan hanya nilai-nilai mata pelajaran “kategori moral” yang diubah, tapi nilai mata-mata pelajaran yang lain pun mereka minta untuk dinaikkan demi memperbesar peluang anak-anak mereka diterima di SBI.

Maka begitulah kejadiannya. Saat nilai-nilai itu hendak saya ubah, ada hal aneh yang saya alami. Setiap selesai saya edit, daftar nilai anak-anak itu saya print ulang. Anehnya, yang tercetak sama dengan nilai sebelum di-edit. Saya coba edit lagi, kemudian saya print lagi. Eh, yang ter-print nilai yang itu lagi. Saya coba hingga tiga kali dan mendapatkan hal yang sama. Saya sadar dan segera beristighfar kepada Allah. “Astaghfirullah, jangan-jangan, ini teguran dari Allah”,batinku. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan niat buruk itu.

Karena merasa tidak cocok lagi berada dalam lingkungan seperti itu, saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Alhamdulillah, sekarang saya mendapatkan pekerjaan baru dengan lingkungan yang lebih nyaman dan lebih islami. Saya juga diperlakukan lebih manusiawi.

Menurut informasi dari teman, tak seorang pun dari anak-anak para pengurus yayasan di sekolah tempat saya mengajar yang dulu itu yang berhasil lulus diterima di SBI. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Sumber: penuturan seorang teman istri saya

[+/-] Selengkapnya...

Monday, July 19, 2010

Cinta Posesif vs Cinta Sedarah

Lelaki itu sangat marah. Istri yang baru dinikahinya sebulan lalu tampak sangat mesra dengan kakaknya, begitu manja. Ia memang berharap mendapatkan istri yang manja, tapi hanya manja kepadanya. Yah, hanya kepadanya, seorang diri. Dia tidak senang jika istrinya bersikap manja kepada laki-laki lain, meskipun itu saudara istrinya sendiri. Cemburu membakar hatinya.

Ia mengaku sangat mencintai istrinya itu. Maka ia pun menginginkan cinta yang setimpal dari istrinya. Baginya, sikap memanjakan diri di hadapan seorang laki-laki adalah bahagian dari cinta seseorang kepada lawan jenisnya, seperti wujud cinta istri pada suaminya, dan begitu pun sebaliknya. Itulah sebabnya, ia menganggap sikap manja istrinya pada kakaknya sudah tidak sepatutnya dilakukan. Kalaulah itu merupakan perilaku yang biasa mereka lakukan, maka harus dihentikan ketika ia menikahi istrinya itu.

Sikap lelaki itu sebenarnya sudah direspon oleh sang istri dengan berusaha menyudahi sikap manja pada kakak-kakaknya. Anehnya, cemburu itu terus memanaskan jiwanya. Banyak kebiasaan dalam keluarga istrinya yang tidak ia senangi, terutama yang berkaitan dengan interaksi sang istri dengan keluarga laki-lakinya. Ketika suatu hari mereka menghadiri resepsi pernikahan kerabat istrinya, mereka duduk berdekatan dengan salah seorang paman sang istri. Sang paman meminta tolong pada istri lelaki itu untuk diambilkan segelas air minum, sebuah permintaan yang enggan ia kemukakan pada istrinya. Maka meledaklah kembali marahnya pada sang istri setibanya mereka di rumah.

Pada kesempatan lain, sang istri menunjukkan kasih sayangnya sebagai seorang kakak. Adiknya baru datang dari kegiatan praktek kerja lapangan. Ketika sang adik menceritakan bahwa ia pernah menangis karena bermimpi bertemu dengan ayah mereka (almarhum), maka serta-merta sang istri duduk di samping adiknya dan membelai-belainya. Lagi-lagi, lelaki itu disulut oleh amarah. Masa-masa penyesuaian pada tahun-tahun awal pernikahan baginya sangatlah menyiksa.

Maka lelaki itu melewati hari-harinya yang dibakar api cemburu. Maka "diam-diaman" pun mewarnai kehidupan awal rumah tangganya. Ketika cemburu itu datang dan marah tak tertahankan, maka ia pun mogok bicara pada istrinya. Cintanya adalah cinta posesif. Ia menyadari itu, namun tak kuasa untuk mengubahnya menjadi cinta sejati. Sikap cemburunya tak mengerti makna cinta sejati.

Suatu waktu, ia melanjutkan studinya di Jakarta. Ia harus meninggalkan keluarganya. Ia tidak hanya meninggalkan istri dan anak-anaknya, tapi juga orang tua dan saudara-saudaranya yang semuanya perempuan. Mereka semua mengantarkannya pergi hingga di bandara. Perpisahan itu membawa kesedihan, baginya dan bagi semua anggota keluarga yang mengantarnya. Ketika berpamitan pada keluarganya, ia tak kuasa untuk tidak memeluk istri dan anak-anaknya, ibu dan ayahnya, bahkan semua saudara perempuannya.
Dalam kesendiriannya di Jakarta, ia merindukan istrinya yang di awal pernikahan mereka selalu ia cemburui. Dalam pada itu, tiba-tiba ia mengingat peristiwa di bandara saat ia berangkat. Ia ingat bahwa ia memeluk saudara-saudaranya (yang perempuan) begitu saja, tanpa berpikir apa-apa, selain perasaan sedih karena berpisah. Dan ingatannya pun melayang pada peristiwa lampau yang lain, ketika ia marah besar pada istrinya karena memeluk kakak laki-lakinya pada pernikahan kakaknya itu. Ia merenungkan peristiwa-peristiwa itu, hingga ia menemukan satu solusi untuk dirinya sendiri: “Saya tidak dapat melawan cinta sedarah dengan cinta posesif yang saya miliki. Cinta posesif yang tumbuh dalam 2-3 tahun tak mungkin menghapus begitu saja cinta sedarah yang terjalin selama seperempat abad lebih lamanya. Kecemburuanku selama ini di luar kewajaran”.

[+/-] Selengkapnya...

Tuesday, July 13, 2010

EQ in World Cup 2010

Tak apalah kalau tulisan ini dianggap berlebihan. Tak masalah juga jika terkesan mencari-cari manfaat dari menyaksikan pertandingan demi pertandingan pada World Cup 2010. Tapi, lintasan pikiran yang muncul di kepala setelah menuntaskan perhelatan 4 tahunan tersebut sebaiknya dituangkan dalam bentuk tulisan.
Menurut pengamatan saya, sedikit-banyak Emotional Quotient (EQ) punya pengaruh terhadap hasil pertandingan di lapangan, paling tidak mempengaruhi performance seorang pemain atau sebuah tim. Mari kita tengok kembali episode Belanda vs Brazil, Jerman vs Argentina, serta Spanyol vs Belanda.

Saat Brazil ketemu Belanda di perempat final World Cup 2010, juara dunia 5 kali ini masih lebih diunggulkan oleh publik ketimbang Belanda. Rupanya, teknik sepakbola yang tinggi sebagaimana yang selalu dipertontonkan tim Samba – julukan Brazil – itu dikacaukan oleh kontrol emosi pemain-pemainnya di lapangan. Acapkali pemain Brazil mengajukan protes berlebihan pada wasit atas kebijakannya memberi tendangan bebas pada tim lawan karena pelanggaran pemain Brazil. Efeknya bukan hanya “banjir hadiah” kartu kuning (plus satu kartu merah) yang menimpa pemain-pemain Brazil, tapi kreativitas bermain mereka jadi menurun. Lebih disayangkan lagi, pelatih mereka, Dunga, juga ikut-ikutan emosional. Dia sempat tertangkap camera menendang tiang dari tribun pemain karena marah pada wasit. Serta-merta strategi jitu hilang dari kepalanya. Beda halnya dengan pemain-pemain de Oranje – julukan Belanda – yang bermain cukup tenang. Mereka pun kadang kaget saat kena semprit dari wasit, tapi mereka memilih bersegera mengatur barisan sebelum lawan mengambil tendangan bebas.

Ternyata emosi tim tidak selalu stabil. Pada puncak pertandingannya, tim de Oranje justru kehilangan kontrol emosi saat berhadapan dengan Spanyol di final. Hujan kartu kuning pun terjadi, bahkan seorang di antara mereka (Heitinga) dihadiahi kartu merah oleh wasit Howard Webb yang memimpin pertandingan. Bisa jadi ini dikarenakan mereka stress akibat bola lebih dikuasai oleh pemain-pemain Spanyol. Jika saja mereka mau bersabar dan menyiapkan serangan-serangan balik yang cepat, sejarah bisa saja berbeda.

Lain lagi dengan fenomena Maradona. Pelatih Argentina yang pernah berjaya di masanya itu harus menanggung malu karena timnya dibantai Jerman 4-0 di perempat final. Maradona sudah terlanjur kehilangan kontrol emosi dengan banyak berdebat di publik tentang kinerjanya sebagai pelatih Argentina. Perselisihannya dengan Pele sekan menjadi pertaruhan harga dirinya setiap kali tim Tango – julukan Argentina – bertanding.

Apa daya, bencana bagi tim Tango terjadi di lapangan saat menjajal Jerman. Gol demi gol terjadi, dan pasukan Maradona tak kunjung membalas. Alih-alih membalas, jala gawang tim Tango malah kebobolan terus. Sikap kurang gentle diperlihatkan oleh pelatih yang terkenal dengan “gol tangan Tuhan”nya itu. Camera memperlihatkan gambar Maradona sedang berdiri mematung di pinggir lapangan dengan mata berkaca-kaca saat pertandingan menyisakan waktu 10 menit sebelum berakhir. Secara logika, 10 menit memang sangat sulit untuk dapat mengejar skor 4-0, tapi setidaknya Maradona masih bisa berusaha merombak strategi agar bisa memperkecil kekalahan dengan 1 atau 2 gol balasan, sekiranya air mata itu masih bisa dikendalikan. Menurut dugaan awam saya, di 10 menit terakhir pertandingan dengan skor yang “tidak sedap” bagi tim Tango itu, yang terbayang di kepala Maradona hanya wajah Pele. Dia mungkin sudah membayangkan bagaimana komentar pahit Pele di publik atas nasib timnya. Apa boleh buat, emosi telah mengalahkan strategi.

Depok, 12 Juli 2010

[+/-] Selengkapnya...

Monday, June 21, 2010

Keunikan Warung di Depok

Ada yang agak unik dari paket jualan pedagang kebutuhan dapur di Depok, tempat saya tinggal saat ini. Ukuran minimal pembelian untuk suatu jenis barang lebih rendah daripada pedagang yang sama yang biasa saya temukan di Makassar. Kita bisa membeli sayur 1 ikat saja, biasanya seharga Rp 500,-; bisa juga membeli sepotong kecil kelapa seharga Rp 500,-; wortel dan kentang beberapa biji masing-masing seharga Rp 500,- atau Rp 1.000,-

Sebenarnya harga barang kebutuhan dapur di Makassar relatif sama dengan harga di Depok, namun di Makassar, pembelian minimal lebih besar. Kalau mau beli kelapa, minimal setengah biji. Isi sekantung paket sayur dan bumbu yang dijual juga lebih banyak, sehingga harganya minimal Rp 2.000,-. Padahal kebutuhan kita mungkin tidak sebanyak isi kantung itu. Kebutuhan kita akan kelapa untuk membuat santan juga tidak sampai setengah biji, sehingga sisanya harus disimpan untuk digunakan pada hari-hari selanjutnya. Jadi, tidak segar lagi.

***
Keunikan lain nampak di warung nasi bu RT. Warung tersebut selalu lebih cepat tutup dibandingkan warung-warung nasi lainnya di Kober. Ya, cepat tutup karena makanan yang dijual cepat habis. Ketika ditanya mengenai hal tersebut, bu RT mengatakan bahwa ia memang menjual dalam jumlah yang tidak terlalu banyak.

Hal itu sengaja dilakukannya karena ia tidak ingin ada makanan yang tersisa. Agar makanan yang tersisa tidak terbuang dan menyebabkan kerugian, biasanya pemilik warung menghangatkannya untuk kemudian dijual lagi esok paginya. Inilah yang tidak ingin dilakukan oleh bu RT, menghangatkan makanan sisa kemarin untuk dijual hari ini.

[+/-] Selengkapnya...

Makassar itu Maknanya Kasar?

Dalam sebuah forum diskusi di Depok, saya mengajukan pertanyaan pada salah seorang pemateri. Sebelum bertanya, saya memperkenalkan nama dan menyebut asal saya, Makassar. Saat menjawab pertanyaan saya, pemateri tersebut tidak langsung merespon pertanyaan. Ia malah memulai dengan memperkenalkan kota Makassar kepada para hadirin. “Makassar ini adalah kota paling damai. Saking damainya, hampir tiap hari ada kerusuhan”, sindirnya yang disambut gelak tawa hadirin.

***
Jum’at siang lalu, saya berjalan beriringan dengan seorang tetangga menuju sebuah masjid di Depok untuk menunaikan sholat Jum’at. Dalam perjalanan, kami berbincang ringan. Rupanya tetangga saya itu baru tahu kalau saya berasal dari Makassar. Entah dari mana sumber beritanya, selama ini dia mengira saya dari Bogor. “Saya kira Bapak orang Bogor, ternyata Makassar, ya. Makassar tempat tari ca’doleng-doleng itu kan?” tanyanya mengkonfirmasi.
***
Nama Makassar di kalangan masyarakat luar Sulsel memang sangat jelek akhir-akhir ini, terutama jika dikaitkan dengan masalah keamanan dan ketertiban. Apalagi media massa, terutama elektronik, sangat intens meliput berbagai berita kerusuhan, baik kerusuhan yang bersumber dari adanya penggusuran rumah warga, perkelahian antar kelompok warga, maupun kerusuhan akibat tawuran mahasiswa. Yang terakhir ini yang paling banyak disoroti. Bahkan rektor UI pernah menghimbau kalangan akademisi di Makassar untuk mengkaji secara serius penyebab tawuran mahasiswa yang sering terjadi tersebut.

Saking buruknya citra Makassar bagi kalangan luar sampai-sampai terkesan bahwa semua orang Makassar itu kasar. Jika ada orang Makassar yang tidak berperangai kasar, mereka menganggap orang itu tidak cocok jadi orang Makassar. “Saya kira Bapak bukan orang Makassar. Bapak cocoknya jadi orang Solo”, kata seorang kawan pada saya suatu waktu. Ketika saya tanya alasannya, dia mengatakan bahwa saya tidak nampak ‘garang’ dalam diskusi dan cenderung banyak diam.

[+/-] Selengkapnya...

Wednesday, June 16, 2010

ANTARA AMALAN HARIAN DAN KONDISI DIRI KITA

Selama menjalani proses tarbiyah kurang lebih 15 tahun, saya dibina untuk senantiasa meningkatkan optimalisasi akal, menguatkan jasmani, dan mengasah ruhiyah. Proses pembelajaran atau tarbiyah itu dipantau melalui mekanisme evaluasi amalan-amalan keseharian yang disebut amalan yaumiah. Dari proses evaluasi itu, dapat diketahui sejauh mana peningkatan pada aspek akal, jasmani, dan ruhiyah saya.

Bermaksud ingin menertibkan pencatatan, sejak tahun 2007, evaluasi yaumiah itu saya rekam dalam bentuk file dan saya catat secara berkala. Saya selalu mengupayakan agar dapat mencatat setiap hari, namun jika tidak sempat kadang-kadang dua atau tiga hari sekaligus baru dapat dicatat. Dari rekaman file itu, saya dapat mengamati saat-saat dimana saya mengalami peningkatan atau penurunan ruhiyah. Demikian pula masa terjadinya penurunan atau peningkatan kapasitas jasmani dan akal saya.

Suatu hari, saya mendengarkan tausiah dari seorang ustadz yang mengatakan bahwa ada korelasi antara kualitas dan kuantitas amalan-amalan yaumiah kita dengan kondisi diri kita, misalnya kestabilan emosi. Menurut beliau, jika kuantitas dan kualitas yaumiah kita baik, maka kita cenderung berada dalam kondisi diri yang baik pula. Demikian pula sebaliknya.

Penasaran dengan tausiah ustadz tersebut, saya mencoba melengkapi catatan yaumiah saya dengan tambahan keterangan berupa hal-hal positif dan negatif yang terjadi pada diri saya atau keluarga saya setiap pekannya. Ternyata perkataan ustadz tadi benar adanya. Hal-hal negatif yang saya alami, seperti dipermalukan oleh orang lain di depan umum, marahan dengan istri, atau penyelesaian tugas yang tidak lancar terjadi saat kuantitas amalan yaumiah saya rendah (tidak memenuhi standard). Saya telah membuktikannya sendiri.

[+/-] Selengkapnya...

Thursday, June 3, 2010

Kecekatan dan Kejelian

Rizki namanya. Pada dasarnya, ia tidak berbeda dengan kebanyakan mahasiswa S2 yang kuliah di UI. Ia rajin mengikuti perkuliahan, tekun mengerjakan tugas yang banyak, senang bekerja berkelompok, sering begadang karena mengerjakan tugas atau ketika menghadapi ujian, dan sesekali menyalin jawaban tugas dari teman yang lain. Kamar kost ukuran (3 x 2,5) m yang ditempatinya terbilang sederhana. Fasilitasnya hanya sebuah lemari pakaian, meja, kursi, dan tempat tidur kapasitas 1 orang. Tidak ada kamar mandi di dalam kamarnya, hanya ada beberapa kamar mandi di luar kamar yang digunakan bersama dengan para penghuni tempat kost yang berada di daerah Kukusan, Depok tersebut.

Sejak pertama kali melihat penampilannya, saya sudah yakin kalau ia orang yang cerdas. Kacamata yang melekat di wajahnya dan caranya berbicara meyakinkan saya bahwa ia orang yang berprestasi dan kembali akan berprestasi dalam masa studi S2-nya. Di sisi lain, ia tidak jaim, mudah bergaul, sering bergurau, dan kadang-kadang usil.

Semester pertama pada masa studi S2 di kekhususan Teknik Kontrol Industri departemen Teknik Elektro UI dilaluinya dengan berhasil meraih IP tertinggi, yaitu 3,7 (skala 0-4). Yang paling menonjol dari aspek ikhtiar teman yang satu ini adalah kecekatan, kejelian, serta kebiasaannya bersegera. Kadangkala ia memikirkan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh yang lain. Ini terbukti saat ujian akhir semester (UAS) I. Ia nampak optimal dalam ikhtiar. Selain mempersiapkan diri dengan materi kuliah yang sudah diberikan, ia juga memperkirakan soal yang akan diujikan. Salah satu upaya untuk memperkirakan materi soal ujian S2 adalah dengan melihat soal ujian dari matakuliah serumpun pada jenjang S1.

Suatu hari, dalam masa ujian akhir semester I, beberapa orang teman (termasuk Rizki) sedang berkumpul di sebuah gazebo. Mereka sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian hari itu sambil memikirkan cara untuk mendapatkan soal ujian matakuliah S1 yang serumpun dengan matakuliah ujian esok harinya. Dari informasi yang diperoleh, UAS matakuliah S1 tersebut ternyata sudah terlaksana. Untuk mendapatkan soal UAS tersebut cukup sulit, terutama karena tak ada yang mengenal seorang pun mahasiswa S1 yang ikut ujian matakuliah tersebut.

Tiba-tiba Rizki punya ide. Dia mengajak seorang teman yang lain menuju ke sebuah tempat sampah dekat ruang ujian matakuliah S1 tersebut. Rizki mempertimbangkan kemungkinan adanya soal yang ditinggalkan oleh peserta ujian di kelas setelah ujian berakhir, kemudian soal tersebut dibuang ke tempat sampah oleh petugas kebersihan ruangan. Ternyata benar, Rizki menemukan soal tersebut. Lebih mengejutkan lagi, soal ujian keesokan harinya serupa benar dengan soal yang ditemukan Rizki hari itu. Itulah hasil dari perpaduan antara kecekatanan dan kejelian seorang Rizki. Semoga sukses selalu menyertainya.

[+/-] Selengkapnya...

Thursday, March 11, 2010

Puisi untuk Hilmi

Hilmi, anakku...
Tiga tahun usiamu kini
dengan tiga huruf hijaiyah yang dapat kau baca
kuharap jadi modalmu untuk jadi seorang hafidz

Hilmi, anakku...
Tiga tahun sudah kau warnai dunia
dengan sifatmu yang agak penakut
kuharap jadi modalmu untuk jadi seorang mujahid

Hilmi, anakku...
Tiga tahun genap usiamu
dengan sikap manjamu pada ummimu
kuharap jadi modalmu untuk menemukan surga
di bawah telapak kakinya
tetaplah rebahkan kepalamu di pelukannya

Depok, 21 Januari 2010

[+/-] Selengkapnya...

Monday, February 15, 2010

Telah Kutemukan Arahku

Hingga awal tahap kedua (level A2) kursus/kelas français (bahasa Perancis) yang kuikuti, perasaan itu masih menghantuiku. Perasaan ‘tersiksa’ ketika berada di dalam kelas français masih selalu hadir. Gelisah dan tak nyaman. Makanya, keluh kesah masih sering kutumpahkan pada istriku tentang perasaan itu. Kepadanya sering kuutarakan niat untuk ‘mundur’ dari kelas français dan selalu pula ia meng-counter-nya. Berbagai alasanku termentahkan baginya.

Sebenarnya, saat kelas français ini dimulai (level A1) saya sangat tertarik mengikutinya. Ada semangat berbalut harapan kalau saja ada nasib untuk mengunjungi negara tempat la tour (menara) Eifel berada, melalui program Double Degree Indonesia-Perancis (DDIP) dari Dikti. Namun, setelah sebulan kelas français berjalan, tiba waktu UTS (Ujian Tengah Semester) pertama untuk kuliah reguler (S2-Elektro). Waktu itu, saya tidak ingin mempertaruhkan nilai UTS dengan kelas français. Masuk kelas français pagi hari kemudian siangnya ikut UTS menurut hitung-hitunganku akan membuat keduanya tidak optimal. Maka kuputuskan untuk tidak ikut kelas français selama sepekan untuk optimalisasi UTS tersebut.

Akibat tidak masuk sepekan, saya jadi sangat tertinggal di kelas français. Itulah awal mula rasa tersiksa dalam kelas français kurasakan. Karena tertinggal, la lesson (pelajaran) jadi sulit kuikuti. Duduk 4 jam tiap hari tanpa tambahan apa-apa tentu tidak enak rasanya. Harapan ke Perancis pun lambat-laun mulai sirna seiring dengan keinginan memfokuskan perhatian pada nilai akademik S2-Elektro. Bahkan kubuat pertimbangan untung-rugi “tetap ikut kelas français” melalui tabel berikut:

Waktu berlalu dua pekan sejak awal level A2 kuikuti. Keinginan ‘mundur’ belum hilang dari benakku. Berbagai dalih dari istri, teman, dan pikiran positif dalam diri ku sendiri tak mampu menepisnya. “Sekolah di Eropa bisa menambah kualitas diri, almamater, dan gengsi keluarga”, kata pikiran positif itu. Saran teman lain lagi. “Dengan ikut belajar bahasa Perancis, paling tidak bisa menambah kemampuan bahasa asing di CV/biodata”, hiburnya. Istri lebih menusuk lagi masukannya. “Saya juga belum tentu sanggup berpisah setahun dengan abi, tapi kita belum tahu apa yang terbaik bagi keluarga kita. Makanya ikuti saja prosesnya sampai akhir, sampai ketahuan mana yang terbaik bagi kita sambil berdo’a terus pada Allah supaya diberi yang terbaik. Tapi jangan berpihak pada salah satu pilihan, antara tetap di UI dan pilihan melanjutkan di Perancis. Kalau Abi mundur, berarti Abi berpihak pada pilihan pertama, padahal prosesnya belum selesai. Percuma minta ditunjukkan oleh Allah pilihan yang terbaik”, sarannya panjang lebar.

Sesaat setelah kudengar, saran dan pikiran-pikiran positif itu mampu menambah motivasiku untuk terus ikut kelas français, tapi kemudian termentahkan begitu sudah berada di dalam kelas tersebut. Istriku lagi-lagi memberi masukan. “Atau begini saja,Bi. Abi kan suka tantangan. Abi akan tahu kemampuan maksimal Abi kalau ikut prosesnya hingga akhir. Jadi, nanti Abi akan tahu, Abi sanggup memenangkan persaingan untuk ke Perancis atau tidak”, ujarnya memanas-manasiku. Saran yang satu ini mengusik ‘harga diriku’, sehingga cukup berpengaruh selama kurang-lebih sepekan. Setelah itu, ter-delete lagi.

Ini tidak bisa dibiarkan terus”,pikirku suatu hari. Saya akan rugi sendiri. Bisa-bisa saya tidak fokus dengan aktivitas apapun. Tidak nyaman belajar français, tidak fokus menekuni studi S2-Elektro, bahkan bisa sering tidak sabaran jika sedang bersama anak-anakku. Maka perenungan panjang dan mendalam adalah satu-satunya jalan keluar tanpa berhenti memohon pertolongan-Nya. Dalam banyak kesempatan setelah sholat, perenungan kulakukan. Saat ke kampus, kupilih berjalan kaki hingga di dalam kelas. Lumayan, jarak ± 3 km à piéd (jalan kaki) cukup melelahkan dan membuat peluh membasahi baju dan sapu tangan. Bangun sekitar pukul 3 dini hari juga kuperuntukkan untuk melanjutkan renungan itu. Setelah itu kulanjutkan dengan membaca ‘siroh Rasulullah saw’ yang sudah kumulai sejak liburan akhir tahun 2009 lalu.

Alhamdulillaah, renungan itu membawa hasil. Renungan itu membawaku pada suatu pikiran yang membuka sumber energi baru bagiku untuk melanjutkan studi S2. Apa yang ada dalam pikiranku itu sebenarnya bukan hal baru. Berbagai materi ceramah sudah sering kudengar menyentil masalah itu, namun inti pikiran itu seakan baru pertama kali kudengar. Berikut adalah inti dari pikiran itu:
“Studi S2 ini harus kuikuti dengan semua prosesnya, tanpa ada yang disepelekan, seperti saran istri. Biar Allah yang menunjukkan arahnya menentukan akhirnya, pada saatnya nanti. Sekarang, tidak boleh lagi ada perasaan ‘tersiksa’ karena proses tidak akan terlepas dari berbagai ‘penderitaan’. Ini belum apa-apa dibandingkan dengan semua yang dialami oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya dulu. Maka kata kuncinya adalah ibadah. Semua proses dan tahapan dalam studi S2-ku ini harus kuanggap sebagai bagian dari ibadah kepada-Nya. Kegembiraan yang kudapat ataukah rasa kecewa, tersiksa, menderita…semuanya akan bernilai ibadah di sisi-Nya, insya Allah.”


[+/-] Selengkapnya...

Wednesday, January 13, 2010

The 4th Symposium International

Palestina kembali dibahas. Simposium Internasional ke-4 (4th International Symposium) “from Jakarta to Gaza Strip” yang diselenggarakan bersama oleh Salam UI, KNRP (Komite Nasional untuk Rakyat Palestina), dan FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Da’wah Kampus) mengambil tema “education as one step for doing Gaza Reconstruction”. Kegiatan yang digelar selama 2 hari ini berlangsung pada tanggal 9 – 10 Januari 2010 di Auditorium Fakultas Ekonomi UI.

Pembahasan pada hari pertama difokuskan pada “Peluang Indonesia Membuka Akses Pendidikan bagi Rakyat Palestina di Indonesia”, sedangkan pada hari kedua dibicarakan masalah “Kontribusi Negara-negara Islam dalam Rekonstruksi Gaza”. Sebagai peserta, saya merasa kecewa atas ketidakhadiran beberapa pembicara yang diharapkan dapat menyampaikan secara langsung masalah Palestina. Mereka antara lain mahasiswa Palestina, Dubes Palestina/Arab Saudi/Turki untuk Indonesia, dan Dubes Mesir untuk Indonesia. Anggota DPR RI dan Menlu RI pun tidak hadir. Padahal, muatan ‘internasional’ simposium ini justru diharapkan dari kehadiran mereka.

Namun demikian, patut disyukuri bahwa kehadiran wakil menteri pendidikan nasional RI, bapak Fasli Djalal cukup memberikan harapan. Beliau berjanji akan serius membuka akses pendidikan bagi rakyat Palestina di Indonesia. Bahkan sepekan setelah kegiatan simposium diselenggarakan, beliau berencana akan mengundang pejabat di jajaran depdiknas beserta penyelenggara simposium untuk duduk bersama membicarakan hal tersebut. Sebuah harapan yang sangat menggembirakan oleh karena selama kuranglebih 6 bulan akses pendidikan untuk rakyat palestina telah diupayakan oleh KNRP dan BSM (Bulan Sabit Merah) ke diknas, namun belum mendapatkan jawaban.

Kegiatan simposium hampir saja tidak membawa kesan bagi saya sekiranya tidak menghadirkan ust. Herry Nurdi, pemimpin redaksi majalah Sabili. Kesan saya, beliau tampil beda dengan pemateri lainnya. Sebenarnya pemateri yang lain juga membawa manfaat (baca: membuka wawasan), terutama tentang sejarah penindasan di Palestina, berita terkini Palestina, dan kontribusi negara-negara di dunia khususnya negara-negara Islam. Tapi, ust. Herry Nurdi mampu memvisualisasikan peran yang bisa diambil oleh para peserta simposium untuk rakyat Palestina. Selain itu, beliau melakukan proses interaktif dengan peserta di samping sesi ‘tanya-jawab’ yang disediakan waktunya.

Pada salah satu bagian penjelasannya, ust.Herry mengemukakan alasan rasional-historis mengapa hingga saat ini Indonesia dipandang sebagai pihak yang paling berperan dalam upaya kemerdekaan bangsa Palestina.
Wajar jika Indonesia bisa mengambil peran besar untuk Palestina. Kita, rakyat Indonesia, bisa merasakan penderitaan rakyat Palestina karena kita mengalami hal yang sama dengan mereka. Kita sudah merasakan pahitnya dijajah dan kita sudah merasakan nikmatnya merdeka. Tentu kita sangat memahami keinginan yang sama dari rakyat Palestina.”

Bagian paling menarik yang diangkat oleh ust.Herry adalah kisah panglima perang kaum muslimin dalam pembebasan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih.
Sebelum ke medan perang, Muhammad Al-Fatih menginspeksi pasukannya. Al-Fatih mengajukan 3 pertanyaan kepada para pasukannya yang sedang berbaris. “Barangsiapa di antara kita yang selama baligh sampai sekarang pernah meninggalkan sholat 5 waktu, walaupun sekali, silahkan duduk.” Tak satupun pasukannya yang duduk. “Barangsiapa yang pernah meninggalkan sholat sunnat rawatib, silahkan duduk”. Maka setengah dari pasukannya pun duduk. “Barangsiapa yang pernah meninggalkan sholat lail sejak baligh hingga sekarang, silahkan duduk”. Maka tak seorang pun yang berdiri kecuali, hanya Al-Fatih sendiri.

Kisah ini beliau angkat untuk menyadarkan para peserta simposium bahwa kontribusi warga muslim di Indonesia bagi kemerdekaan rakyat Palestina bisa lebih optimal jika sumber daya manusianya dipersiapkan dengan baik.
Kalau kita mau membebaskan Al-Aqsa, kalau kita ingin memerdekakan rakyat Palestina dari penindasan, maka kita harus mempersiapkan diri-diri kita hingga kualitas kita sama dengan kualitas Muhammad Al-Fatih. Palestina hanya mungkin dibebaskan oleh pasukan sekualitas pasukan Muhammad Al-Fatih


[+/-] Selengkapnya...

Wednesday, January 6, 2010

Puisi untuk Nadya

Empat tahun sudah usiamu
tetap saja
tanpa pesta, tanpa perayaan

masih lugu,
kamu hanya minta kado sekedarnya
mainan tua di keranjang yang dibungkus pun kamu terima

masih lugu,
lampu dimatikan…lalu dinyalakan…
disambut ucapan ‘selamat’ abi dan ummi
bagimu seperti prosesi ‘tiup lilin’
gundukan nasi kuning di mangkuk kecil
kreasi insidentil ummi
kamu anggap sebagai ‘nasi tumpeng’

kebahagian terbesarmu nampak
saat…
sesendok nasi kuning kau tuang
pada piring ummi dan abi
senyummu merekah
tawamu meledak
engkau masih Nadya yang lugu nan sederhana
met ultah, anakku

Depok, 31 Des 2009

[+/-] Selengkapnya...

Tuesday, January 5, 2010

SOS

"Di antara mahasiswa S2 Teknik Kimia ITS angkatan 2007, sayalah yang paling lemah kemampuan bahasa Inggrisnya. Meskipun begitu, dalam tes TOEFL ketiga, saya berhasil melewati standard kelulusan, dan saya dinyatakan memenuhi syarat untuk mendapat gelas magister. Sementara itu, masih banyak teman saya yang kemampuan bahasa Inggrisnya lebih bagus, tapi belum lulus. Saya juga berhasil menamatkan studi S2 saya dengan IPK 3,65. Singkatnya, studi S2 saya sangat dimudahkan oleh Allah. Setelah saya pikir-pikir, mungkin itu semua berkat konsistensi saya dalam melaksanakan sholat tahajjud dan sholat dhuha."

Demikian sepenggal cerita yang dikisahkan oleh kakak-ipar saya sekitar sebulan lalu. Beliau menceritakannya dengan maksud untuk memotivasi saya yang sedang menempuh pendidikan magister di Universitas Indonesia Depok saat ini. “Jangan mau kalah dengan saya. IPK-mu harus lebih tinggi dari 3,65. Kalau tidak, berarti kamu kalah dengan saya,” ujarnya menyemangati melalui telepon. Yang berkesan dari ceritanya itu adalah kalimatnya yang terakhir:”Kunci keberhasilan saya ada pada sholat tahajjud dan sholat dhuha yang saya kerjakan dengan konsisten”.
Tiba-tiba saja waktu itu saya teringat akan sebuah ayat dalam al-qur’an. Ayat ke-153 dari surat Al-Baqarah itu sudah sangat populer: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Hasil yang diperoleh oleh kakak-ipar saya itu di luar perkiraan teman-temannya, bahkan di luar perkiraannya sendiri.
***
Sejak akhir Agustus 2009, saya mulai studi S2 di Universitas Indonesia di Depok. Sejak awal beban perkuliahan sudah terasa berat. Pada pertemuan-pertemuan awal saja dosen-dosen yang mengajar sudah menunjukkan keheranannya akan jumlah mahasiswanya yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. “Saya surprise dengan jumlah mahasiswa pada program studi Teknik Kontrol Industri tahun ini,” kata seorang dosen. “Biasanya hanya 4 sampai 7 orang saja per angkatan, sekarang ada 17 orang,” sambungnya. Ketika ditanya penyebab sedikitnya jumlah peminat pada tahun-tahun sebelumnya, sambil tersenyum beliau menjawab, “karena sulit lulusnya”.
Tugas perkuliahan yang banyak ditambah keharusan mempelajari dan membaca sendiri beberapa literatur semakin terasa berat dengan adanya tambahan kelas bahasa Perancis. Kelas ini diberikan sehubungan dengan program DDIP (Double Degree Indonesia Perancis) yang saya ikuti. Jadual belajarnya padat, dari senin hingga jum’at dari pkl.08.00-12.30.
Masalah keuangan melengkapi nuansa perjuangan pada babak awal studi S2 saya. Modal kuliah pas-pasan mengharuskan saya harus menjual motor di Makassar dan meminjam uang kepada adik, teman, dan institusi tempat saya bekerja. Beasiswa DDIP sangat lambat pencairannya. Setelah menunggu selama 4 bulan, barulah beasiswa tersebut cair dengan menyisakan masalah lain, yaitu dana untuk pembayaran SPP hanya diberikan 2/3 nya, sisanya harus kami upayakan sendiri.
Jika pada akhirnya semester pertama mampu saya jalani, itu bukan karena saya adalah orang yang terbiasa dengan banyak masalah. Juga bukan karena saya tiba-tiba menjadi orang yang kuat untuk menghadapi semua masalah itu. Tidak lain karena 3 faktor: sabar, do’a, dan sholat. Itupun belum optimal.
Dengan semua masalah yang saya hadapi dalam awal studi S2 tadi, kemampuan bersabar kian terasah. Kebutuhan untuk lebih dekat kepada sang Khaliq, Allah swt. Menuntut saya semakin rajin memanjatkan do’a padaNya. Do’a terasa sarat akan harap. Sampai sekarang, saya jadi terbiasa untuk meminta, bahkan hingga urusan yang ‘kecil-kecil’. Untuk urusan sholat lail/tahajjud, saya belum bisa seperti kakak-ipar saya, tapi sholat dhuha telah saya upayakan agar bisa konsisten. Sholat subuh di masjid juga menjadi andalan saya selama awal studi S2.
Semoga hasilnya bisa memuaskan hati. Aamiin…

[+/-] Selengkapnya...