Wednesday, August 4, 2010

Idealisme Seorang Guru

Setelah saya edit, daftar nilai anak-anak itu saya print ulang. Anehnya, yang tercetak sama dengan nilai sebelum di-edit. Saya coba edit lagi, kemudian saya print lagi. Eh, yang ter-print nilai yang itu lagi. Saya coba hingga tiga kali dan mendapatkan hal yang sama. Saya sadar dan segera beristighfar kepada Allah. “Astaghfirullah, jangan-jangan, ini teguran dari Allah”,batinku. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan niat buruk itu.

Saya melamar untuk menjadi guru di sekolah itu karena mengharapkan lingkungan kerja yang baik. Sebuah SMP swasta di kota Depok yang dinaungi oleh sebuah yayasan islami. Beberapa tahun bekerja sebagai guru, saya diberi amanah untuk menjadi wali kelas, kelas IX (kelas 3 SMP).

Saat saya diamanahi sebagai wali kelas IX, beberapa diantara siswa saya adalah anak-anak dari pengurus yayasan yang menaungi sekolah tersebut. Alhamdulillah, saat hasil UAN (Ujian Akhir Nasional) diumumkan, mereka termasuk yang lulus.

Entah karena kemauan sendiri atau karena keinginan orangtua mereka, untuk melanjutkan sekolah, mereka mendaftar di SBI (Sekolah Berbasis Internasional) di Depok. Di SBI dipersyaratkan nilai-nilai mata pelajaran yang tergolong “kategori moral” dengan standard tertentu. Rupanya, nilai anak-anak pengurus yayasan di sekolah tempat saya mengabdi tidak memenuhi syarat. Maka para pengurus yayasan memerintahkan pada kepala sekolah untuk mengubah nilai anak-anak mereka. Saat diberitahu, saya sangat kaget. Saya tidak menyangka pengurus yayasan berpikir selicik itu dan tidak lagi menganggap perbuatan itu sebagai dosa.

Saya tidak dapat berbuat apa-apa. Saya dipaksa. Akhirnya, saya bersedia untuk mengubah nilai-nilai mereka. Bukan hanya nilai-nilai mata pelajaran “kategori moral” yang diubah, tapi nilai mata-mata pelajaran yang lain pun mereka minta untuk dinaikkan demi memperbesar peluang anak-anak mereka diterima di SBI.

Maka begitulah kejadiannya. Saat nilai-nilai itu hendak saya ubah, ada hal aneh yang saya alami. Setiap selesai saya edit, daftar nilai anak-anak itu saya print ulang. Anehnya, yang tercetak sama dengan nilai sebelum di-edit. Saya coba edit lagi, kemudian saya print lagi. Eh, yang ter-print nilai yang itu lagi. Saya coba hingga tiga kali dan mendapatkan hal yang sama. Saya sadar dan segera beristighfar kepada Allah. “Astaghfirullah, jangan-jangan, ini teguran dari Allah”,batinku. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan niat buruk itu.

Karena merasa tidak cocok lagi berada dalam lingkungan seperti itu, saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Alhamdulillah, sekarang saya mendapatkan pekerjaan baru dengan lingkungan yang lebih nyaman dan lebih islami. Saya juga diperlakukan lebih manusiawi.

Menurut informasi dari teman, tak seorang pun dari anak-anak para pengurus yayasan di sekolah tempat saya mengajar yang dulu itu yang berhasil lulus diterima di SBI. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Sumber: penuturan seorang teman istri saya

No comments:

Post a Comment