Saturday, August 21, 2010

Keputusan Dilematis

Keputusan itu akhirnya kuambil juga. Yah, program DDIP yang kuikuti sehubungan dengan studi S2 yang sedang kujalani akhirnya kupatahkan di tengah jalan. Setelah kursus dan tes level A2 bahasa Perancis rampung, kursus level B1 tidak kulanjutkan lagi. Itu adalah bagian dari keputusanku untuk menyelesaikan studi S2 di UI hingga selesai dan tidak melanjutkannya di Perancis sebagaimana rencana semula.

Lega dan plong rasanya. Hari-hari berikutnya kujalani dengan lebih fokus pada perkuliahan di UI. Waktu terasa makin longgar untuk mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dan memperdalam materi kuliah. Sesekali kucari tahu informasi tentang kursus yang masih diikuti oleh teman-teman yang masih konsisten di jalur DDIP.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Semester kedua berhasil kulewati dengan baik. IPK-ku bergeser sedikit ke atas. Ini berarti paling tidak dua semester lagi akan kujalani kemudian pulang ke kampung halaman. Program DDIP juga semakin mendekati proses akhir untuk menentukan siapa saja yang berhak melanjutkan studi tahun keduanya di Perancis.
Informasi yang kuperoleh menyebutkan bahwa semua mahasiswa yang masih meneruskan kursusnya pada level B1 dan B2 akan diberangkatkan ke Perancis, termasuk orang-orang yang kuanggap kurang meyakinkan perkembangan bahasa Perancisnya dan orang-orang yang selama ini tidak terlalu serius belajar bahasa Perancis.

Entah kenapa, berita tentang persiapan keberangkatan teman-teman yang akan ke Perancis kembali mengganggu pikiranku. Kurasakan diriku berada di antara 2 kesedihan. Kesedihan karena harus meninggalkan keluarga sekiranya harus lanjut di Perancis dan kesedihan karena menyia-nyiakan kesempatan belajar di Eropa, yang diinginkan banyak orang. Kesedihan yang pertama itulah yang melandasi keputusanku dahulu untuk menghentikan program DDIP di tengah jalan. Kini, ketika mereka sudah bersiap-siap ke Perancis, kesedihan kedua menghantuiku. Hari demi hari kulewati dengan rasa menyesal, menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan.

Di tengah kesedihan yang tidak kuperlihatkan pada keluargaku, kuingat do’a yang pernah kupanjatkan pada-Nya. Kesadaran akan takdir Allah, itulah yang mengangkatku agar tidak tenggelam di lumpur kesedihan dan kubang penyesalan. Allah-lah yang menghendaki ini semua terjadi. Apa yang Dia takdirkan untuk seorang hamba, maka pasti Dia akan memudahkan jalan itu bagi hamba-Nya. Begitu pula sebaliknya.

Ya, Allah…
kepadaMu kupanjatkan do’a ini
kelanjutan do’aku yang dahulu

Ya, Allah…
Rob yang Maha Mengetahui,
Engkau lebih tahu
jalan yang terbaik bagi hamba-hambaMu
Jika ini memang jalanku yang terbaik
maka lapangkanlah hatiku untuk menerimanya, ya Rahman…
berkahilah perjalananku di atas jalan itu

Ya, Allah…
Rob yang Maha Perkasa
Namun jika keputusan yang hamba ambil dahulu
adalah bagian dari kelemahan hamba
karena ketidakmampuan hamba meniti jalan perjuangan
karena cerminan lemahnya mental hamba
maka, hamba memohon padaMu ya Rahim…
tutupilah kelemahan hamba dengan setetes kekuatanMu, Ya Allah…
kuatkanlah mental hamba, Ya Rahman…
dan berilah ganti yang lebih baik bagi hamba
atas kehilangan kesempatan itu

Artikel Terkait...

[+/-] Selengkapnya...

Thursday, August 5, 2010

Alhamdulillah, Masih Ada

Istriku pulang dengan wajah muram. Raut mukanya sama sekali tidak menampakkan keceriaan. Dia masuk ke kamar kost dengan langkah gontai. Setelah meletakkan barang belanjaan yang baru saja dibelinya di Tanah Abang, perlahan dia duduk tepat di hadapanku. Sesaat kemudian, dia menjatuhkan kepalanya di bahuku. Sambil terisak, dia berujar lirih: "Afwan, Bi. Saya baru saja kena musibah. HP ku hilang di atas kereta".

Istriku baru saja pulang dari Tanah Abang. Dia naik KRL jurusan Bogor dan turun di Stasiun UI. "Kemungkinan HP itu dicopet atau terjatuh dari sakuku. Seharusnya memang kumasukkan dalam tas. Karena ada sms kuterima, HP itu kukeluarkan lagi. Kemudian kusimpan di sakuku", cerita istriku panjang lebar. "Mudah-mudahan HP itu tidak dicopet. Mudah-mudahan terjatuh dan ditemukan oleh orang yang baik",harapnya.

Melalui HPku, dia mencoba menelepon HPnya. Ternyata aktif. Tapi tidak diangkat, tidak dijawab. Dia tidak putus asa. Dia mengirim sms ke nomor HPnya. "Aslkm. Siapapun yang menemukn hp ini, sy mohon u bisa menghubungi no ini (085299490044), sy berterima kasih sekali atas kebaikannya u mngembalikn hp tsb, krn sy sgt membutuhknnya", begitu bunyi smsnya.

Sekitar 30 menit kemudian, sebuah sms masuk ke nomorku,"Hp anda sy temukan di kaki sy di KA brusan sy turun". Sms yang dikirim melalui nomor HPnya yang hilang itu langsung disambut istriku dengan menelepon kembali nomor itu. Kali ini, telepon itu dijawab. Dia kemudian berbincang serius dengan pemegang HP itu. Setelah menelepon, istriku menjelaskan bahwa orang itu bermaksud mengembalikan HP itu, tapi dia menawarkan besok pagi saja, karena dia masih capek. Istriku mengiyakan.

Keesokan harinya, istriku bergegas menuju Stasiun Bojong Gede, ke tempat orang yang menemukan HPnya yang hilang itu. Saya ingin menemaninya, tapi ditolaknya karena anak-anak kami harus ke sekolah.

Singkat cerita, istriku mendapatkan kembali HPnya itu. "Bapak itu orang baik. Bahkan dia sempat menolak waktu saya sodorkan sekotak kurma dan sebotol minuman sebagai rasa terima kasih. Dia bilang hanya mau membantu saja, tapi saya desak. Akhirnya, dia pun mau menerimanya", tutur istriku sesampainya kembali di kamar kost kami. Alhamdulillah, HP itu ditemukan oleh orang baik. "Ternyata masih ada juga orang sebaik itu ya...", ujar istriku yang masih belum yakin kalau HPnya masih bisa kembali.

Dalam do'aku selepas maghrib, saya memohon kepada Allah agar memberkahi kehidupan orang itu dan keluarganya, serta diberi keluasan rezeki. Semoga Allah mengabulkannya, amin...

Depok, 4 Agt 2010

[+/-] Selengkapnya...

Wednesday, August 4, 2010

Idealisme Seorang Guru

Setelah saya edit, daftar nilai anak-anak itu saya print ulang. Anehnya, yang tercetak sama dengan nilai sebelum di-edit. Saya coba edit lagi, kemudian saya print lagi. Eh, yang ter-print nilai yang itu lagi. Saya coba hingga tiga kali dan mendapatkan hal yang sama. Saya sadar dan segera beristighfar kepada Allah. “Astaghfirullah, jangan-jangan, ini teguran dari Allah”,batinku. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan niat buruk itu.

Saya melamar untuk menjadi guru di sekolah itu karena mengharapkan lingkungan kerja yang baik. Sebuah SMP swasta di kota Depok yang dinaungi oleh sebuah yayasan islami. Beberapa tahun bekerja sebagai guru, saya diberi amanah untuk menjadi wali kelas, kelas IX (kelas 3 SMP).

Saat saya diamanahi sebagai wali kelas IX, beberapa diantara siswa saya adalah anak-anak dari pengurus yayasan yang menaungi sekolah tersebut. Alhamdulillah, saat hasil UAN (Ujian Akhir Nasional) diumumkan, mereka termasuk yang lulus.

Entah karena kemauan sendiri atau karena keinginan orangtua mereka, untuk melanjutkan sekolah, mereka mendaftar di SBI (Sekolah Berbasis Internasional) di Depok. Di SBI dipersyaratkan nilai-nilai mata pelajaran yang tergolong “kategori moral” dengan standard tertentu. Rupanya, nilai anak-anak pengurus yayasan di sekolah tempat saya mengabdi tidak memenuhi syarat. Maka para pengurus yayasan memerintahkan pada kepala sekolah untuk mengubah nilai anak-anak mereka. Saat diberitahu, saya sangat kaget. Saya tidak menyangka pengurus yayasan berpikir selicik itu dan tidak lagi menganggap perbuatan itu sebagai dosa.

Saya tidak dapat berbuat apa-apa. Saya dipaksa. Akhirnya, saya bersedia untuk mengubah nilai-nilai mereka. Bukan hanya nilai-nilai mata pelajaran “kategori moral” yang diubah, tapi nilai mata-mata pelajaran yang lain pun mereka minta untuk dinaikkan demi memperbesar peluang anak-anak mereka diterima di SBI.

Maka begitulah kejadiannya. Saat nilai-nilai itu hendak saya ubah, ada hal aneh yang saya alami. Setiap selesai saya edit, daftar nilai anak-anak itu saya print ulang. Anehnya, yang tercetak sama dengan nilai sebelum di-edit. Saya coba edit lagi, kemudian saya print lagi. Eh, yang ter-print nilai yang itu lagi. Saya coba hingga tiga kali dan mendapatkan hal yang sama. Saya sadar dan segera beristighfar kepada Allah. “Astaghfirullah, jangan-jangan, ini teguran dari Allah”,batinku. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan niat buruk itu.

Karena merasa tidak cocok lagi berada dalam lingkungan seperti itu, saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Alhamdulillah, sekarang saya mendapatkan pekerjaan baru dengan lingkungan yang lebih nyaman dan lebih islami. Saya juga diperlakukan lebih manusiawi.

Menurut informasi dari teman, tak seorang pun dari anak-anak para pengurus yayasan di sekolah tempat saya mengajar yang dulu itu yang berhasil lulus diterima di SBI. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Sumber: penuturan seorang teman istri saya

[+/-] Selengkapnya...