Tuesday, January 5, 2010

SOS

"Di antara mahasiswa S2 Teknik Kimia ITS angkatan 2007, sayalah yang paling lemah kemampuan bahasa Inggrisnya. Meskipun begitu, dalam tes TOEFL ketiga, saya berhasil melewati standard kelulusan, dan saya dinyatakan memenuhi syarat untuk mendapat gelas magister. Sementara itu, masih banyak teman saya yang kemampuan bahasa Inggrisnya lebih bagus, tapi belum lulus. Saya juga berhasil menamatkan studi S2 saya dengan IPK 3,65. Singkatnya, studi S2 saya sangat dimudahkan oleh Allah. Setelah saya pikir-pikir, mungkin itu semua berkat konsistensi saya dalam melaksanakan sholat tahajjud dan sholat dhuha."

Demikian sepenggal cerita yang dikisahkan oleh kakak-ipar saya sekitar sebulan lalu. Beliau menceritakannya dengan maksud untuk memotivasi saya yang sedang menempuh pendidikan magister di Universitas Indonesia Depok saat ini. “Jangan mau kalah dengan saya. IPK-mu harus lebih tinggi dari 3,65. Kalau tidak, berarti kamu kalah dengan saya,” ujarnya menyemangati melalui telepon. Yang berkesan dari ceritanya itu adalah kalimatnya yang terakhir:”Kunci keberhasilan saya ada pada sholat tahajjud dan sholat dhuha yang saya kerjakan dengan konsisten”.
Tiba-tiba saja waktu itu saya teringat akan sebuah ayat dalam al-qur’an. Ayat ke-153 dari surat Al-Baqarah itu sudah sangat populer: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Hasil yang diperoleh oleh kakak-ipar saya itu di luar perkiraan teman-temannya, bahkan di luar perkiraannya sendiri.
***
Sejak akhir Agustus 2009, saya mulai studi S2 di Universitas Indonesia di Depok. Sejak awal beban perkuliahan sudah terasa berat. Pada pertemuan-pertemuan awal saja dosen-dosen yang mengajar sudah menunjukkan keheranannya akan jumlah mahasiswanya yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. “Saya surprise dengan jumlah mahasiswa pada program studi Teknik Kontrol Industri tahun ini,” kata seorang dosen. “Biasanya hanya 4 sampai 7 orang saja per angkatan, sekarang ada 17 orang,” sambungnya. Ketika ditanya penyebab sedikitnya jumlah peminat pada tahun-tahun sebelumnya, sambil tersenyum beliau menjawab, “karena sulit lulusnya”.
Tugas perkuliahan yang banyak ditambah keharusan mempelajari dan membaca sendiri beberapa literatur semakin terasa berat dengan adanya tambahan kelas bahasa Perancis. Kelas ini diberikan sehubungan dengan program DDIP (Double Degree Indonesia Perancis) yang saya ikuti. Jadual belajarnya padat, dari senin hingga jum’at dari pkl.08.00-12.30.
Masalah keuangan melengkapi nuansa perjuangan pada babak awal studi S2 saya. Modal kuliah pas-pasan mengharuskan saya harus menjual motor di Makassar dan meminjam uang kepada adik, teman, dan institusi tempat saya bekerja. Beasiswa DDIP sangat lambat pencairannya. Setelah menunggu selama 4 bulan, barulah beasiswa tersebut cair dengan menyisakan masalah lain, yaitu dana untuk pembayaran SPP hanya diberikan 2/3 nya, sisanya harus kami upayakan sendiri.
Jika pada akhirnya semester pertama mampu saya jalani, itu bukan karena saya adalah orang yang terbiasa dengan banyak masalah. Juga bukan karena saya tiba-tiba menjadi orang yang kuat untuk menghadapi semua masalah itu. Tidak lain karena 3 faktor: sabar, do’a, dan sholat. Itupun belum optimal.
Dengan semua masalah yang saya hadapi dalam awal studi S2 tadi, kemampuan bersabar kian terasah. Kebutuhan untuk lebih dekat kepada sang Khaliq, Allah swt. Menuntut saya semakin rajin memanjatkan do’a padaNya. Do’a terasa sarat akan harap. Sampai sekarang, saya jadi terbiasa untuk meminta, bahkan hingga urusan yang ‘kecil-kecil’. Untuk urusan sholat lail/tahajjud, saya belum bisa seperti kakak-ipar saya, tapi sholat dhuha telah saya upayakan agar bisa konsisten. Sholat subuh di masjid juga menjadi andalan saya selama awal studi S2.
Semoga hasilnya bisa memuaskan hati. Aamiin…

No comments:

Post a Comment