Monday, July 19, 2010

Cinta Posesif vs Cinta Sedarah

Lelaki itu sangat marah. Istri yang baru dinikahinya sebulan lalu tampak sangat mesra dengan kakaknya, begitu manja. Ia memang berharap mendapatkan istri yang manja, tapi hanya manja kepadanya. Yah, hanya kepadanya, seorang diri. Dia tidak senang jika istrinya bersikap manja kepada laki-laki lain, meskipun itu saudara istrinya sendiri. Cemburu membakar hatinya.

Ia mengaku sangat mencintai istrinya itu. Maka ia pun menginginkan cinta yang setimpal dari istrinya. Baginya, sikap memanjakan diri di hadapan seorang laki-laki adalah bahagian dari cinta seseorang kepada lawan jenisnya, seperti wujud cinta istri pada suaminya, dan begitu pun sebaliknya. Itulah sebabnya, ia menganggap sikap manja istrinya pada kakaknya sudah tidak sepatutnya dilakukan. Kalaulah itu merupakan perilaku yang biasa mereka lakukan, maka harus dihentikan ketika ia menikahi istrinya itu.

Sikap lelaki itu sebenarnya sudah direspon oleh sang istri dengan berusaha menyudahi sikap manja pada kakak-kakaknya. Anehnya, cemburu itu terus memanaskan jiwanya. Banyak kebiasaan dalam keluarga istrinya yang tidak ia senangi, terutama yang berkaitan dengan interaksi sang istri dengan keluarga laki-lakinya. Ketika suatu hari mereka menghadiri resepsi pernikahan kerabat istrinya, mereka duduk berdekatan dengan salah seorang paman sang istri. Sang paman meminta tolong pada istri lelaki itu untuk diambilkan segelas air minum, sebuah permintaan yang enggan ia kemukakan pada istrinya. Maka meledaklah kembali marahnya pada sang istri setibanya mereka di rumah.

Pada kesempatan lain, sang istri menunjukkan kasih sayangnya sebagai seorang kakak. Adiknya baru datang dari kegiatan praktek kerja lapangan. Ketika sang adik menceritakan bahwa ia pernah menangis karena bermimpi bertemu dengan ayah mereka (almarhum), maka serta-merta sang istri duduk di samping adiknya dan membelai-belainya. Lagi-lagi, lelaki itu disulut oleh amarah. Masa-masa penyesuaian pada tahun-tahun awal pernikahan baginya sangatlah menyiksa.

Maka lelaki itu melewati hari-harinya yang dibakar api cemburu. Maka "diam-diaman" pun mewarnai kehidupan awal rumah tangganya. Ketika cemburu itu datang dan marah tak tertahankan, maka ia pun mogok bicara pada istrinya. Cintanya adalah cinta posesif. Ia menyadari itu, namun tak kuasa untuk mengubahnya menjadi cinta sejati. Sikap cemburunya tak mengerti makna cinta sejati.

Suatu waktu, ia melanjutkan studinya di Jakarta. Ia harus meninggalkan keluarganya. Ia tidak hanya meninggalkan istri dan anak-anaknya, tapi juga orang tua dan saudara-saudaranya yang semuanya perempuan. Mereka semua mengantarkannya pergi hingga di bandara. Perpisahan itu membawa kesedihan, baginya dan bagi semua anggota keluarga yang mengantarnya. Ketika berpamitan pada keluarganya, ia tak kuasa untuk tidak memeluk istri dan anak-anaknya, ibu dan ayahnya, bahkan semua saudara perempuannya.
Dalam kesendiriannya di Jakarta, ia merindukan istrinya yang di awal pernikahan mereka selalu ia cemburui. Dalam pada itu, tiba-tiba ia mengingat peristiwa di bandara saat ia berangkat. Ia ingat bahwa ia memeluk saudara-saudaranya (yang perempuan) begitu saja, tanpa berpikir apa-apa, selain perasaan sedih karena berpisah. Dan ingatannya pun melayang pada peristiwa lampau yang lain, ketika ia marah besar pada istrinya karena memeluk kakak laki-lakinya pada pernikahan kakaknya itu. Ia merenungkan peristiwa-peristiwa itu, hingga ia menemukan satu solusi untuk dirinya sendiri: “Saya tidak dapat melawan cinta sedarah dengan cinta posesif yang saya miliki. Cinta posesif yang tumbuh dalam 2-3 tahun tak mungkin menghapus begitu saja cinta sedarah yang terjalin selama seperempat abad lebih lamanya. Kecemburuanku selama ini di luar kewajaran”.

[+/-] Selengkapnya...

Tuesday, July 13, 2010

EQ in World Cup 2010

Tak apalah kalau tulisan ini dianggap berlebihan. Tak masalah juga jika terkesan mencari-cari manfaat dari menyaksikan pertandingan demi pertandingan pada World Cup 2010. Tapi, lintasan pikiran yang muncul di kepala setelah menuntaskan perhelatan 4 tahunan tersebut sebaiknya dituangkan dalam bentuk tulisan.
Menurut pengamatan saya, sedikit-banyak Emotional Quotient (EQ) punya pengaruh terhadap hasil pertandingan di lapangan, paling tidak mempengaruhi performance seorang pemain atau sebuah tim. Mari kita tengok kembali episode Belanda vs Brazil, Jerman vs Argentina, serta Spanyol vs Belanda.

Saat Brazil ketemu Belanda di perempat final World Cup 2010, juara dunia 5 kali ini masih lebih diunggulkan oleh publik ketimbang Belanda. Rupanya, teknik sepakbola yang tinggi sebagaimana yang selalu dipertontonkan tim Samba – julukan Brazil – itu dikacaukan oleh kontrol emosi pemain-pemainnya di lapangan. Acapkali pemain Brazil mengajukan protes berlebihan pada wasit atas kebijakannya memberi tendangan bebas pada tim lawan karena pelanggaran pemain Brazil. Efeknya bukan hanya “banjir hadiah” kartu kuning (plus satu kartu merah) yang menimpa pemain-pemain Brazil, tapi kreativitas bermain mereka jadi menurun. Lebih disayangkan lagi, pelatih mereka, Dunga, juga ikut-ikutan emosional. Dia sempat tertangkap camera menendang tiang dari tribun pemain karena marah pada wasit. Serta-merta strategi jitu hilang dari kepalanya. Beda halnya dengan pemain-pemain de Oranje – julukan Belanda – yang bermain cukup tenang. Mereka pun kadang kaget saat kena semprit dari wasit, tapi mereka memilih bersegera mengatur barisan sebelum lawan mengambil tendangan bebas.

Ternyata emosi tim tidak selalu stabil. Pada puncak pertandingannya, tim de Oranje justru kehilangan kontrol emosi saat berhadapan dengan Spanyol di final. Hujan kartu kuning pun terjadi, bahkan seorang di antara mereka (Heitinga) dihadiahi kartu merah oleh wasit Howard Webb yang memimpin pertandingan. Bisa jadi ini dikarenakan mereka stress akibat bola lebih dikuasai oleh pemain-pemain Spanyol. Jika saja mereka mau bersabar dan menyiapkan serangan-serangan balik yang cepat, sejarah bisa saja berbeda.

Lain lagi dengan fenomena Maradona. Pelatih Argentina yang pernah berjaya di masanya itu harus menanggung malu karena timnya dibantai Jerman 4-0 di perempat final. Maradona sudah terlanjur kehilangan kontrol emosi dengan banyak berdebat di publik tentang kinerjanya sebagai pelatih Argentina. Perselisihannya dengan Pele sekan menjadi pertaruhan harga dirinya setiap kali tim Tango – julukan Argentina – bertanding.

Apa daya, bencana bagi tim Tango terjadi di lapangan saat menjajal Jerman. Gol demi gol terjadi, dan pasukan Maradona tak kunjung membalas. Alih-alih membalas, jala gawang tim Tango malah kebobolan terus. Sikap kurang gentle diperlihatkan oleh pelatih yang terkenal dengan “gol tangan Tuhan”nya itu. Camera memperlihatkan gambar Maradona sedang berdiri mematung di pinggir lapangan dengan mata berkaca-kaca saat pertandingan menyisakan waktu 10 menit sebelum berakhir. Secara logika, 10 menit memang sangat sulit untuk dapat mengejar skor 4-0, tapi setidaknya Maradona masih bisa berusaha merombak strategi agar bisa memperkecil kekalahan dengan 1 atau 2 gol balasan, sekiranya air mata itu masih bisa dikendalikan. Menurut dugaan awam saya, di 10 menit terakhir pertandingan dengan skor yang “tidak sedap” bagi tim Tango itu, yang terbayang di kepala Maradona hanya wajah Pele. Dia mungkin sudah membayangkan bagaimana komentar pahit Pele di publik atas nasib timnya. Apa boleh buat, emosi telah mengalahkan strategi.

Depok, 12 Juli 2010

[+/-] Selengkapnya...