Monday, February 15, 2010

Telah Kutemukan Arahku

Hingga awal tahap kedua (level A2) kursus/kelas français (bahasa Perancis) yang kuikuti, perasaan itu masih menghantuiku. Perasaan ‘tersiksa’ ketika berada di dalam kelas français masih selalu hadir. Gelisah dan tak nyaman. Makanya, keluh kesah masih sering kutumpahkan pada istriku tentang perasaan itu. Kepadanya sering kuutarakan niat untuk ‘mundur’ dari kelas français dan selalu pula ia meng-counter-nya. Berbagai alasanku termentahkan baginya.

Sebenarnya, saat kelas français ini dimulai (level A1) saya sangat tertarik mengikutinya. Ada semangat berbalut harapan kalau saja ada nasib untuk mengunjungi negara tempat la tour (menara) Eifel berada, melalui program Double Degree Indonesia-Perancis (DDIP) dari Dikti. Namun, setelah sebulan kelas français berjalan, tiba waktu UTS (Ujian Tengah Semester) pertama untuk kuliah reguler (S2-Elektro). Waktu itu, saya tidak ingin mempertaruhkan nilai UTS dengan kelas français. Masuk kelas français pagi hari kemudian siangnya ikut UTS menurut hitung-hitunganku akan membuat keduanya tidak optimal. Maka kuputuskan untuk tidak ikut kelas français selama sepekan untuk optimalisasi UTS tersebut.

Akibat tidak masuk sepekan, saya jadi sangat tertinggal di kelas français. Itulah awal mula rasa tersiksa dalam kelas français kurasakan. Karena tertinggal, la lesson (pelajaran) jadi sulit kuikuti. Duduk 4 jam tiap hari tanpa tambahan apa-apa tentu tidak enak rasanya. Harapan ke Perancis pun lambat-laun mulai sirna seiring dengan keinginan memfokuskan perhatian pada nilai akademik S2-Elektro. Bahkan kubuat pertimbangan untung-rugi “tetap ikut kelas français” melalui tabel berikut:

Waktu berlalu dua pekan sejak awal level A2 kuikuti. Keinginan ‘mundur’ belum hilang dari benakku. Berbagai dalih dari istri, teman, dan pikiran positif dalam diri ku sendiri tak mampu menepisnya. “Sekolah di Eropa bisa menambah kualitas diri, almamater, dan gengsi keluarga”, kata pikiran positif itu. Saran teman lain lagi. “Dengan ikut belajar bahasa Perancis, paling tidak bisa menambah kemampuan bahasa asing di CV/biodata”, hiburnya. Istri lebih menusuk lagi masukannya. “Saya juga belum tentu sanggup berpisah setahun dengan abi, tapi kita belum tahu apa yang terbaik bagi keluarga kita. Makanya ikuti saja prosesnya sampai akhir, sampai ketahuan mana yang terbaik bagi kita sambil berdo’a terus pada Allah supaya diberi yang terbaik. Tapi jangan berpihak pada salah satu pilihan, antara tetap di UI dan pilihan melanjutkan di Perancis. Kalau Abi mundur, berarti Abi berpihak pada pilihan pertama, padahal prosesnya belum selesai. Percuma minta ditunjukkan oleh Allah pilihan yang terbaik”, sarannya panjang lebar.

Sesaat setelah kudengar, saran dan pikiran-pikiran positif itu mampu menambah motivasiku untuk terus ikut kelas français, tapi kemudian termentahkan begitu sudah berada di dalam kelas tersebut. Istriku lagi-lagi memberi masukan. “Atau begini saja,Bi. Abi kan suka tantangan. Abi akan tahu kemampuan maksimal Abi kalau ikut prosesnya hingga akhir. Jadi, nanti Abi akan tahu, Abi sanggup memenangkan persaingan untuk ke Perancis atau tidak”, ujarnya memanas-manasiku. Saran yang satu ini mengusik ‘harga diriku’, sehingga cukup berpengaruh selama kurang-lebih sepekan. Setelah itu, ter-delete lagi.

Ini tidak bisa dibiarkan terus”,pikirku suatu hari. Saya akan rugi sendiri. Bisa-bisa saya tidak fokus dengan aktivitas apapun. Tidak nyaman belajar français, tidak fokus menekuni studi S2-Elektro, bahkan bisa sering tidak sabaran jika sedang bersama anak-anakku. Maka perenungan panjang dan mendalam adalah satu-satunya jalan keluar tanpa berhenti memohon pertolongan-Nya. Dalam banyak kesempatan setelah sholat, perenungan kulakukan. Saat ke kampus, kupilih berjalan kaki hingga di dalam kelas. Lumayan, jarak ± 3 km à piéd (jalan kaki) cukup melelahkan dan membuat peluh membasahi baju dan sapu tangan. Bangun sekitar pukul 3 dini hari juga kuperuntukkan untuk melanjutkan renungan itu. Setelah itu kulanjutkan dengan membaca ‘siroh Rasulullah saw’ yang sudah kumulai sejak liburan akhir tahun 2009 lalu.

Alhamdulillaah, renungan itu membawa hasil. Renungan itu membawaku pada suatu pikiran yang membuka sumber energi baru bagiku untuk melanjutkan studi S2. Apa yang ada dalam pikiranku itu sebenarnya bukan hal baru. Berbagai materi ceramah sudah sering kudengar menyentil masalah itu, namun inti pikiran itu seakan baru pertama kali kudengar. Berikut adalah inti dari pikiran itu:
“Studi S2 ini harus kuikuti dengan semua prosesnya, tanpa ada yang disepelekan, seperti saran istri. Biar Allah yang menunjukkan arahnya menentukan akhirnya, pada saatnya nanti. Sekarang, tidak boleh lagi ada perasaan ‘tersiksa’ karena proses tidak akan terlepas dari berbagai ‘penderitaan’. Ini belum apa-apa dibandingkan dengan semua yang dialami oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya dulu. Maka kata kuncinya adalah ibadah. Semua proses dan tahapan dalam studi S2-ku ini harus kuanggap sebagai bagian dari ibadah kepada-Nya. Kegembiraan yang kudapat ataukah rasa kecewa, tersiksa, menderita…semuanya akan bernilai ibadah di sisi-Nya, insya Allah.”


[+/-] Selengkapnya...