Tuesday, July 13, 2010

EQ in World Cup 2010

Tak apalah kalau tulisan ini dianggap berlebihan. Tak masalah juga jika terkesan mencari-cari manfaat dari menyaksikan pertandingan demi pertandingan pada World Cup 2010. Tapi, lintasan pikiran yang muncul di kepala setelah menuntaskan perhelatan 4 tahunan tersebut sebaiknya dituangkan dalam bentuk tulisan.
Menurut pengamatan saya, sedikit-banyak Emotional Quotient (EQ) punya pengaruh terhadap hasil pertandingan di lapangan, paling tidak mempengaruhi performance seorang pemain atau sebuah tim. Mari kita tengok kembali episode Belanda vs Brazil, Jerman vs Argentina, serta Spanyol vs Belanda.

Saat Brazil ketemu Belanda di perempat final World Cup 2010, juara dunia 5 kali ini masih lebih diunggulkan oleh publik ketimbang Belanda. Rupanya, teknik sepakbola yang tinggi sebagaimana yang selalu dipertontonkan tim Samba – julukan Brazil – itu dikacaukan oleh kontrol emosi pemain-pemainnya di lapangan. Acapkali pemain Brazil mengajukan protes berlebihan pada wasit atas kebijakannya memberi tendangan bebas pada tim lawan karena pelanggaran pemain Brazil. Efeknya bukan hanya “banjir hadiah” kartu kuning (plus satu kartu merah) yang menimpa pemain-pemain Brazil, tapi kreativitas bermain mereka jadi menurun. Lebih disayangkan lagi, pelatih mereka, Dunga, juga ikut-ikutan emosional. Dia sempat tertangkap camera menendang tiang dari tribun pemain karena marah pada wasit. Serta-merta strategi jitu hilang dari kepalanya. Beda halnya dengan pemain-pemain de Oranje – julukan Belanda – yang bermain cukup tenang. Mereka pun kadang kaget saat kena semprit dari wasit, tapi mereka memilih bersegera mengatur barisan sebelum lawan mengambil tendangan bebas.

Ternyata emosi tim tidak selalu stabil. Pada puncak pertandingannya, tim de Oranje justru kehilangan kontrol emosi saat berhadapan dengan Spanyol di final. Hujan kartu kuning pun terjadi, bahkan seorang di antara mereka (Heitinga) dihadiahi kartu merah oleh wasit Howard Webb yang memimpin pertandingan. Bisa jadi ini dikarenakan mereka stress akibat bola lebih dikuasai oleh pemain-pemain Spanyol. Jika saja mereka mau bersabar dan menyiapkan serangan-serangan balik yang cepat, sejarah bisa saja berbeda.

Lain lagi dengan fenomena Maradona. Pelatih Argentina yang pernah berjaya di masanya itu harus menanggung malu karena timnya dibantai Jerman 4-0 di perempat final. Maradona sudah terlanjur kehilangan kontrol emosi dengan banyak berdebat di publik tentang kinerjanya sebagai pelatih Argentina. Perselisihannya dengan Pele sekan menjadi pertaruhan harga dirinya setiap kali tim Tango – julukan Argentina – bertanding.

Apa daya, bencana bagi tim Tango terjadi di lapangan saat menjajal Jerman. Gol demi gol terjadi, dan pasukan Maradona tak kunjung membalas. Alih-alih membalas, jala gawang tim Tango malah kebobolan terus. Sikap kurang gentle diperlihatkan oleh pelatih yang terkenal dengan “gol tangan Tuhan”nya itu. Camera memperlihatkan gambar Maradona sedang berdiri mematung di pinggir lapangan dengan mata berkaca-kaca saat pertandingan menyisakan waktu 10 menit sebelum berakhir. Secara logika, 10 menit memang sangat sulit untuk dapat mengejar skor 4-0, tapi setidaknya Maradona masih bisa berusaha merombak strategi agar bisa memperkecil kekalahan dengan 1 atau 2 gol balasan, sekiranya air mata itu masih bisa dikendalikan. Menurut dugaan awam saya, di 10 menit terakhir pertandingan dengan skor yang “tidak sedap” bagi tim Tango itu, yang terbayang di kepala Maradona hanya wajah Pele. Dia mungkin sudah membayangkan bagaimana komentar pahit Pele di publik atas nasib timnya. Apa boleh buat, emosi telah mengalahkan strategi.

Depok, 12 Juli 2010

No comments:

Post a Comment