Wednesday, April 27, 2011

Geliat Film Tanah Air

Kita, masyarakat Indonesia baru saja menyaksikan pertunjukan ‘film nasional’ berjudul “Antara angket pajak, koalisi, dan reshuffle kabinet”. Entah akan berlanjut atau tidak, episode kali ini bisa dikatakan telah berakhir damai. Ada penonton yang merasa puas setelah disuguhi tontonan tersebut, namun ada pula yang merasa jengkel dan marah. Uniknya, bukan hanya penonton yang tidak mengetahui skenarionya, para pemainnya pun masih meraba-raba skenario yang sesungguhnya. Dari sudut pandang politik, hingga kini, kita belum tahu pasti siapa sutradara dan pembuat skenario ‘film’ tersebut.

Hampir bersamaan dengan pemutaran ‘film nasional’ tadi, terjadi pula gonjang-ganjing seputar pajak film impor. Pihak Hollywood mengancam akan menghentikan pengiriman film ke Indonesia. Alasannya, ada regulasi baru dari pemerintah Indonesia yang mengenakan pajak lebih tinggi terhadap film impor, sehingga dianggap merugikan pihak importir dan Hollywood. Terkait hal tersebut, Ketua dan Wakil ketua BP2N, Deddy Mizwar dan Rudy S.Sanyoto telah menggelar jumpa pers di Gedung Sapta Pesona, Kementerian Budaya & Pariwisata, Jakarta bahwa tidak ada regulasi baru yang akan mengenakan pajak yang tinggi dan merugikan usaha mereka. Menurut Deddy & Rudy, Surat Edaran Dirjen Pajak No.3 tanggal 10 Januari 2011 hanya menegaskan bahwa pihak importir dan Hollywood harus membayar pajak impor yang benar dan wajar sesuai ketentuan yang berlaku. Selama ini, MPA (Motion Picture Asociation America) dan importir telah mengelabui petugas pajak dan bea cukai, sehingga membayar pajak lebih rendah daripada yang seharusnya mereka bayar.

Akibat ancaman Hollywood, para penikmat film di Indonesia sempat merasa kecewa dan gusar. Maklum, selain film-film impor, yang banyak diputar di bioskop-bioskop tanah air selama ini tergolong film-film kualitas rendah alias murahan. Film-film lokal Indonesia masih didominasi suguhan seputar dada dan paha, tontonan seputar bokong dan pocong.

Kalau kita jeli mengamati dunia perfilman di tanah air, sebenarnya tema film yang disenangi penonton sudah mulai bergeser dari film-film murahan berbau hantu dan nafsu menjadi film-film berkualitas bertema sosial dan pendidikan. Berdasarkan data dari PERFIN, sejak tahun 2008 hingga awal 2011, film-film berkualitas selalu berada pada peringkat teratas dari jumlah penonton dibandingkan dengan film-film murahan. Tahun 2008, film “Laskar Pelangi” berada di urutan teratas dengan 4.606.785 jumlah penonton disusul oleh film “Ayat-ayat Cinta” dengan 3.581.947 penonton, jauh lebih banyak daripada film “Hantu Ambulance” (862.193) dan film “Kutunggu Jandamu” (±700.000).

Pada tahun 2009, masih menurut data PERFIN, film berkualitas kembali mendulang jumlah penonton terbanyak. Peringkat pertama dengan 3.100.906 penonton ditempati oleh film “Ketika Cinta Bertasbih 1” yang diambil dari karya novelis terkenal, Habiburrahman El-Shirazi. Peringkat ke-2 dan ke-3 ditempati film “Ketika Cinta Bertasbih 2” dan film “Sang Pemimpi”. Pada tahun 2010, penonton lagi-lagi menggandrungi film-film sarat motivasi dan nilai-nilai pendidikan. Film tentang tokoh pendiri Muhammadiyah, “Sang Pencerah” mendapat jumlah penonton terbanyak dengan 1.108.600 orang disusul film “Dalam Mihrab Cinta” yang disutradarai oleh penulis novelnya sendiri, Kang Abik, panggilan Habiburrahman El-Shirazi. Film berkualitas lainnya yang juga mendapat tempat di hati penikmat film Indonesia adalah “Emak Mau Naik Haji” dan yang diputar tahun ini, “Rumah Tanpa Jendela”.

Pemerintah Indonesia dan para pegiat film Indonesia seharusnya mencermati fenomena ini. Memang peminat film-film bergenre sex dan horor belum bisa dianggap hilang, namun kecenderungan akibat negatif yang ditimbulkan film-film murahan tersebut serta adanya film-film alternatif yang lebih diminati masyarakat Indonesia sepantasnya mendorong pemerintah mereduksi film-film sex dan horor dan membantu lahirnya film-film berkualitas yang diangkat dari karya penulis-penulis berbakat seperti Habiburrahman, Andrea Hirata, Asma Nadia, dan yang lainnya.

*) Dimuat pada harian Radar Depok edisi 13 Mar 2011

No comments:

Post a Comment