Wednesday, April 27, 2011

Awal Pertarungan 2014

Banyak pihak memandang bahwa hiruk-pikuk yang terjadi belakangan ini di pentas nasional merupakan ajang pemanasan untuk pertarungan pada tahun 2014. Pelakunya bukan hanya dari kalangan politisi yang memiliki kendaraan partai politik, tapi juga tokoh-tokoh yang bernaung di bawah bendera ormas, LSM, atau komunitas lintas agama.

Persiapan menuju perebutan kepemimpinan RI sudah diperlihatkan dengan sangat jelas oleh partai-partai politik yang eksis di senayan. Partai Demokrat yang tidak lagi dapat mengajukan SBY karena adanya batasan masa jabatan presiden 2 periode mulai mempersiapkan jagoan barunya. Yang disebut-sebut memiliki kans kuat adalah Anas Urbaningrum, Pramono Edhi Wibowo, dan Ani Yudhoyono. Nama terakhir bahkan sudah menerbitkan buku “Kepak Sayap Putri Prajurit”nya. Buku tersebut sudah lama beredar di masyarakat.

Tak ingin ketinggalan, Partai Golkar yang pernah berkuasa selama lebih dari 3 dekade juga sudah mengelus calonnya. Siapa lagi kalau bukan Aburizal Bakrie, Sang ketua umum. Spanduk bertuliskan “Aburizal Bakrie for President 2014” ramai menghiasi jalan-jalan utama di beberapa kota besar di Indonesia pada bulan Januari lalu.

PDIP sebagai partai oposisi pun rupanya tidak ingin kecolongan lagi setelah kalah dalam 2 periode berturut-turut. Sejumlah kalangan internal PDIP masih menginginkan Megawati diusung kembali sebagai capres 2014. Apalagi survei “Prospek Capres 2014-2019” yang dilaksanakan oleh Indo Barometer pada bulan Agustus 2010 menempatkan Megawati pada posisi teratas. Namun demikian, beberapa tokoh PDIP mencoba mencari alternatif lain dengan pertimbangan usia mantan Presiden RI tersebut yang sudah lebih dari 60 tahun.

Politik Saling Sandera
Politik saling sandera yang dimainkan oleh Demokrat dan Golkar mengindikasikan adanya persaingan ke arah politik 2014 tersebut. Sebut saja misalnya kasus Gayus yang menyeret-nyeret nama Ical, sapaan Abu Rizal Bakrie, sehingga berpeluang membuka kasus pajak grup Bakrie. Demikian pula kasus Bank Century dan saham perdana (IPO) Krakatau Steel yang membuat SBY dan Demokrat terpuruk di mata publik.

Komitmen Masa Lalu
Sebagian kalangan PDIP yang tidak lagi betah sebagai oposisi mencoba menjalin kedekatan dengan Demokrat sebagai partai pemerintah. Kedekatan PDIP dan Demokrat belakangan ini kembali memanaskan isu reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2, sehingga muncul wacana akan dimasukkannya kader PDIP dalam kabinet hasil reshuffle. Sebagian kalangan memandang kedekatan ini sengaja mulai dibangun untuk persiapan paket pasangan Demokrat-PDIP untuk tahun 2014 nanti.

Sayangnya, masa lalu PDIP seakan telah menyandera harapan mereka tersebut. Kemesraan yang mereka jalin dengan Demokrat agar terbuka peluang duet Ani Yudhoyono-Puan Maharani atau paket Ani dengan tokoh PDIP lainnya pada tahun 2014 masih terhalang komitmen mereka dengan Gerindra pada pilpres 2009 lalu. Gerindra mengingatkan mereka akan adanya komitmen sama-sama mendukung Prabowo pada tahun 2014, setelah mereka sama-sama memperjuangkan Megawati pada 2009 lalu.

Tokoh non-parpol
Munculnya kritikan kalangan yang menamakan dirinya “tokoh lintas agama” terhadap pemerintah SBY juga tidak terlepas dari agenda 2014. Terlepas dari konten yang mereka suarakan, orang-orang yang menisbahkan dirinya sebagai tokoh lintas agama tersebut bisa jadi ikut pula memainkan isu untuk popularitas menjelang pertarungan di 2014. Gerakan melawan kebohongan pemerintah mungkin merupakan bagian dari upaya menenggelamkan pamor SBY dan Demokrat yang masih dominan sembari memunculkan diri ke publik.

Kekuatan Tokoh
Masyarakat Indonesia harus lebih banyak membuka mata terhadap nasib bangsa Indonesia pasca Reformasi. Bangsa ini tidak akan bisa melepaskan dirinya dari jerat keterpurukan yang masih menjarah hampir seluruh sendi kehidupan jika terus terpaku dengan pamor tokoh-tokoh yang ramai dibicarakan publik.

Pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto dan orde baru, masyarakat Indonesia dibuat silau oleh pamor tokoh-tokoh yang muncul di era reformasi. Padahal kepemimpinan mereka sebenarnya tidak efektif karena tidak ditopang oleh support system (baca: partai politik) yang kuat.
Para tokoh itu begitu dipercaya menjalankan pemerintahan dengan kekuatannya sendiri sementara para pendukungnya sibuk mencari posisi sedekat mungkin dengan tokoh yang sedang berkuasa. Itulah yang terjadi pada Gusdur pada tahun 1999, Megawati pada tahun 2001, dan sekarang dialami oleh SBY.

Akibatnya, saat pamor sang tokoh pudar, maka meredup pula sinar partai pendukungnya. Setelah Gusdur terdepak dari istana, perolehan suara PKB yang sempat mencapai 12% pada pemilu 1999 terus mengalami kemerosotan dan tersisa 4,94% pada pemilu 2009 lalu. Persentase perolehan suara PDIP juga terus turun seiring makin tuanya usia sang figur, Megawati Soekarno Putri. Pada pemilu tahun 1999, PDIP menang dengan 33% suara, namun perolehan suaranya kemudian anjlok hampir separuhnya pada tahun 2004 menjadi 18,6%. Kemerosotan suara PDIP berlanjut pada pemilu 2009 dengan raihan hanya sebesar 14%. Tidak menutup kemungkinan, hal ini akan dialami pula oleh partai Demokrat. Saat SBY tidak lagi menjabat, tidak ada jaminan partai tersebut masih akan mendapat dukungan suara dari rakyat pada tahun-tahun mendatang.

Kekuatan Sistem
Bertahan lamanya kepemimpinan Soeharto selain karena belum adanya batasan masa jabatan presiden juga karena Soeharto segera membangun support system yang cukup kokoh saat ia berkuasa. Maka pada masa pemerintahannya, rencana pembangunan yang disusun dalam bentuk Repelita bisa direalisasikan dengan baik. Sayangnya, Soeharto tidak memberantas kutu-kutu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada support system yang ia bangun. Malah dibiarkan berkembang dan beranak-pinak.
Untuk membawa Indonesia keluar dari keterpurukan, kita harus mendukung support system yang tangguh dan tidak hanya mengandalkan figur tokoh semata. Tapi support system yang tangguh saja tidak cukup. Ia juga harus bersih dari virus KKN dan ambisi pribadi. Maka mari kita lihat organisasi mana yang sampai hari ini masih bersih dan memberi manfaat yang besar terhadap masyarakat dan relatif berhasil dengan kaderisasinya. Mereka itulah yang bisa kita harapkan dapat membawa bangsa Indonesia keluar dari keterpurukan menuju masa kejayaannya.

*) Dimuat pada harian Radar Depok edisi 23 Feb 2011

No comments:

Post a Comment