Tuesday, December 4, 2018

Special View - Thanx to Allah

Tulisan ini dibuat sebagai hasil renungan saat berkesempatan mengikuti Short Course di Australia pada tahun 2007 lalu. Dua bulan di Australia cukup untuk mendapatkan banyak hikmah atas takdir kami dilahirkan sebagai warga negara Indonesia. Rasanya Allah sengaja mengirim kami ke Australia supaya lebih banyak bersyukur kepada-Nya. Syukur karena telah ditakdirkan lahir dari keluarga Indonesia, sehingga serta-merta ikut menjadi warga Indonesia.


Ada tiga alasan mengapa harus bersyukur dilahirkan di bumi Indonesia dan bukan di Australia. (1) dibandingkan dengan Australia, kondisi alam Indonesia jauh lebih bersahabat, (2) Indonesia terletak di kawasan Asia yang menganut budaya ketimuran,(3) sejarah Indonesia dan Australia sangat berbeda. 

Pertama, dibandingkan dengan Australia, kondisi alam Indonesia jauh lebih bersahabat. Di Indonesia, segala jenis tanaman bisa tumbuh, sementara di Australia, untuk menemukan pohon yang daunnya lebar saja sangat sulit. Pohon-pohon yang tumbuh memiliki daun keci-kecil, bahkan banyak yg daunnya gugur meskipun di musim semi. Jenisnya pun tidak beragam, alias homogen. Hanya di beberapa tempat yang nampak tumbuhannya tidak beragam. Sulitnya tumbuhan bisa hidup disebabkan tanahnya yang tidak subur. Lapisan tanah di Australia berbentuk bebatuan. Itu pula yang menyebabkan Australia kekurangan air, sehingga di beberapa kota besar dibuat aturan khusus untuk membatasi pemakaian air, terutama di musim panas (summer). 

Alasan kedua, Indonesia terletak di kawasan Asia yang menganut budaya ketimuran. Salah satu budaya ketimuran yang dijaga betul adalah tidak melakukan perbuatan asusila di depan umum. Kalau ada yang kedapatan melakukan hal demikian, undang-undang akan menjeratnya. Bahkan dalam beberapa kasus, pelakunya diusir dari kampungnya, dikucilkan, dan ada pula yang dibakar rumahnya. Beda halnya dengan budaya di Australia. Dengan mudah kita bisa menemukan orang berpelukan dan berciuman di tempat umum; di dalam bus, di bus stop, di supermarket, di taman, bahkan di computer center dalam kampus. Yang lebih mengerikan lagi adalah dibuatnya kawasan industri sex di Canberra di lokasi yang disebut Fhyswick. Di kawasan itu, segala bentuk asesoris seksual dapat ditemukan, mulai dari foto orang bugil, parfum untuk hubungan sexual, majalah & video porno, sampai tiruan alat kelamin. Tentunya disediakan pula tempat untuk melampiaskan nafsu seksual dengan beragam produk dan kebutuhan. Memang mengerikan. Mengerikan karena semuanya dilegalkan oleh pemerintah. Masyarakat pun tidak peduli.

Yang ketiga, sejarah Indonesia dan Australia sangat berbeda. Penduduk Indonesia yang ada saat ini adalah keturunan asli dari masyarakat pribumi Indonesia. Mereka masih eksis karena mampu merebut tanah airnya dari penjajah, kemudian mempertahankannya dengan segala bentuk pengorbanan. Maka masyarakat Indonesia yang ada saat ini adalah masyarakat pejuang dan layak disebut masyarakat terhormat. Sejarah yang bertolak belakang dengan keberadaan masyarakat Australia saat ini. Meskipun sudah bercampur dengan beragam etnis, orang Australia notabene adalah warga kulit putih dari daratan Eropa. Penduduk kulit putih yang merupakan penduduk utama Australia tidak lain adalah keturunan dari orang-orang yang mengusir suku Aborigin dari tanah air mereka, bahkan ‘menghilangkannya’. Tak salahlah kiranya jika para pendahulu mereka layak disebut sebagai bangsa penjajah. Maka apakah pantas mereka disebut sebagai bangsa terhormat? 

Menjadi warga Indonesia yang menghadapi banyak masalah memang merupakan tantangan tersendiri bagi kita untuk menyikapi dan mencari pemecahannya sesuai kemampuan. Akan tetapi, ditakdirkan sebagai warga negara Indonesia yang lahir, besar, beraktivitas, dan kemudian wafat di bumi Indonesia adalah keberadaan yang harus disyukuri.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Currong, 21 Juli 2007
 

No comments:

Post a Comment