Sunday, November 30, 2008

Belajar dari Struktur Molekul Air

Sebuah penelitian di Jepang membuktikan bahwa struktur molekul air dapat dipengaruhi oleh perlakuan manusia. Dalam salah satu bagian penelitian yang dilakukan oleh DR.Masaru Emoto tersebut, disiapkan dua wadah berisi air yang sama. Wadah pertama ditempeli kertas bertuliskan kata-kata negatif, seperti “brengsek”, “kotor”, “setan”, dan sejenisnya. Wadah kedua diberi tulisan bernuansa positif seperti “bagus”, “terima kasih”, “indah”, dan sejenisnya.

Setelah diamati dengan mikroskop elektron, didapati kondisi yang berbeda pada struktur molekul air dari kedua wadah tersebut. Pada wadah pertama, struktur molekul airnya tidak beraturan dan kelihatan kacau, sedangkan pada wadah kedua terlihat struktur molekul air yang sangat teratur, berbentuk segienam (hexagonal).

DR.Emoto akhirnya berkeliling dunia melakukan percobaan dengan air di Swiss, Berlin, Prancis, dan Palestina. Ia kemudian diundang ke Markas Besar PBB di New York untuk mempresentasikan temuannya pada bulan Maret 2005 lalu. Kesimpulannya, ternyata air bisa “mendengar” kata-kata, bisa “membaca” tulisan, dan bisa “mengerti” pesan.

Penelitian Emoto memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Pada dasarnya, air adalah materi tak bernyawa, tapi dapat merespon perlakuan eksternal walaupun hanya dalam bentuk tulisan. Jika kondisi air saja bisa dipengaruhi oleh kata-kata atau pesan berupa tulisan, apatah lagi kondisi makhluk bernyawa seperti kita, manusia. Penelitian Emoto itu juga dapat kita analogikan dalam berbagai bentuk.
Wadah air dalam penelitian Emoto bisa kita analogikan sebagai seorang anak, sedangkan kata-kata atau tulisan pada wadah air dianalogikan sebagai cara orangtua anak tersebut dalam mendidik. Jika orangtua mendidik anaknya dengan “tulisan” (baca:cara) yang baik, maka anak tersebut akan memiliki “struktur molekul” yang baik pula. Demikian pula sebaliknya.

Itulah sebabnya, Dorothy Law Nolty membuat puisi berikut:
Jika anak dibesarkan dengan celaan,
Ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
Ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
Ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
Ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar adil
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
Ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Dalam kehidupan akademik di kampus, “wadah” bisa berbentuk apa saja. “Tulisan” pun bisa berupa apa saja. Jika “wadah”nya adalah mahasiswa, maka “tulisan”nya bisa berupa bentuk penguatan dari dosen. Jika seorang dosen gemar memberi dukungan dan penguatan dalam proses belajar mahasiswanya, maka mahasiswa akan memiliki “struktur molekul” yang bagus. “Struktur molekul” yang bagus akan mendorong mahasiswa untuk meningkatkan prestasi dan hasil karyanya. “Struktur molekul” yang buruk akan mendorong mahasiswa berperilaku yang buruk pula.

Analogi serupa dapat kita cermati pada sikap mahasiswa ketika akan menerima pelajaran dari seorang dosen. Mahasiswa yang berhasil mendapatkan nilai yang bagus sekaligus pengetahuan dari dosennya adalah mahasiswa yang membuat “tulisan” yang baik pada “wadah” dosennya sejak awal proses belajar-mengajar berlangsung. Mahasiswa yang demikian ini biasanya meyakinkan dirinya bahwa mengikuti kuliah dosennya akan bermanfaat, dia akan memperoleh ilmu, keterampilan, serta pengalaman. Pada setiap sesi perkuliahan, pikirannya terfokus pada manfaat apalagi yang bisa dia dapat dari dosennya hari itu. Maka dia pun betul-betul mendapatkan manfaat dari proses perkuliahan.

Sebaliknya, mahasiswa yang sejak pertemuan pertama sudah berfikir macam-macam terhadap dosennya (negative-thinking), sangat sulit mendapatkan manfaat dari perkuliahan itu. Demikian pula dengan nilai yang diperolehnya, bisa jadi akan rendah. “Aiii... dosen inimiseng, marah-marah terusji pasti ini sebentar kalau mengajarki”, keluh seorang mahasiswa ketika seorang dosen masuk ke ruang kuliah. Dengan begitu, dia telah membuat “tulisan” pada “wadah” pikirannya, sehingga pikirannya hanya terfokus pada marahnya Sang dosen. Bisa jadi, suara keras dosen untuk menekankan materi kuliah tertentu dianggapnya sebagai kemarahan. Hal ini dikarenakan “struktur molekul” pikirannya sudah kacau dan tidak teratur.

Dalam kehidupan organisasi, pola pembinaan dan pengkaderan mahasiswa juga seharusnya mengambil pelajaran dari penelitian Dr.Emoto tersebut. Jika sejak awal, kegiatan pengkaderan sudah dikemas dengan bentuk yang jelek, maka jangan bermimpi akan menghasilkan kader yang bagus. Sebagaimana “wadah air” yang ditempeli “tulisan” yang buruk, maka “struktur molekul air”nya pun akan kacau. Oleh sebab itu, kegiatan pengkaderan sebaiknya diberi nama-nama yang bagus, bukan justru istilah-istilah yang menakutkan dan terkesan negatif, seperti “GILAS”, “SETRUM”, dan sejenisnya.

Kepemimpinan dalam institusi pendidikan ini pun layak dianalogikan seperti penelitian Emoto. Seorang pemimpin yang sejak awal periode kepemimpinannya sudah menggoreskan penanya untuk membuat “tulisan-tulisan” yang positif pada “wadah”nya (baca: civitas akademik), insya Allah akan menemukan “struktur molekul” yang bagus pada institusi yang dipimpinnya. “Tulisan-tulisan” tersebut bisa berupa sikap optimisme, positive-thinking, serta motivasi untuk berprestasi. Jika kebiasaan membuat “tulisan” atau “kata-kata” yang baik yang demikian kita lestarikan, insya Allah asmosfir akademik di kampus kita ini akan semakin baik pula. Dampak yang kita harapkan dari hal tersebut tentunya adalah kinerja yang lebih baik dari seluruh civitas akademik.
Tamalanrea, 12 Desember 2007

No comments:

Post a Comment